Breaking News:

Kasus Mulfia yang Tega Bunuh Bayinya, Nikah di Usia 17 Tahun, Gangguan Mental Setelah Melahirkan

Alami gangguan mental setelah melahirkan, Mulfia tega habisi nyawa sang anak. Begini kronologinya.

Editor: ninda iswara
Thinkstockphotos
Ilustrasi 

TRIBUNNEWSMAKER.COM - Bulan Februari 2020 lalu, warga Buton Tengah, Sulawesi Tenggara, dihebohkan dengan ditemukannya dua balita yang terluka.

Satu diantaranya bahkan ditemukan dalam kondisi tak bernyawa.

Si ibu bernama Mulfia (23) lah yang tega menyakiti kedua buah hatinya.

Menikah di usia muda, Mulfia mengalami banyak perubahan hingga tega menyakiti sang buah hati.

Mulfia sebelumnya dikenal sebagai gadis periang.

Namun perangainya berubah sejak ia melahirkan anak keduanya.

5 Fakta Pembunuhan ABG yang Hendak Jadi Pagar Ayu, Diperkosa Saat Tak Bernyawa, Dibuntuti Pelaku

Hilang Sebulan, Siswi SMK Ini Ternyata jadi Korban Pembunuhan, Tubuhnya Dimasukkan ke Karung

Seorang anak membawa poster saat aksi peringatan Hari Perempuan Internasional di Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (8/3). Aksi tersebut untuk mensosialisasikan pencegahan perkawinan anak guna menekan angka perkawinan usia dini yang masih marak terjadi.
Seorang anak membawa poster saat aksi peringatan Hari Perempuan Internasional di Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (8/3). Aksi tersebut untuk mensosialisasikan pencegahan perkawinan anak guna menekan angka perkawinan usia dini yang masih marak terjadi. (ARNAS PADDA/Antara)

Mulfia diketahui menikah muda saat baru berusia 17 tahun.

Ibu muda berusia 23 tahun ini menjadi perbincangan setelah tega menyakiti kedua anaknya yang baru berusia satu tahun dan empat bulan.

Bahkan bayi Mulfia yang baru berusia empat bulan harus meregang nyawa di tangan sang ibu.

Sedangkan si sulung mendapat luka sayat di bagian lehernya.

Sepulang dari melaut pada Selasa (25/2/2020), sang suami, Haris (24), menemukan anak sulung mereka, Alfin, dalam kondisi tersayat di bagian leher, sementara si bungsu Askaira, tewas terendam di bak mandi.

"Mulfia hanya tertunduk diam seperti tidak terjadi apa-apa," kata Hardin (37), saudara Mulfia kepada BBC Indonesia.

Hardin yang pertama kali mendapati situasi tersebut, langsung meminta Haris kembali dari laut.

Alfian ditemukan terbaring di atas ranjang dalam kondisi menangis dengan luka sayat di bagian belakang leher. Sementara Askaira di dalam ayunan sarung dalam kondisi tubuh basah tak bernyawa.

Berubah setelah melahirkan 

Sebelum menikah di usia 17 pada 2014 lalu, Mulfia dikenal sebagai seorang gadis yang periang dan senang bersosialisasi.

Ia mengandung dan melahirkan anak pertama di tahun ke-4 pernikahan dan, selang setahun kemudian, melahirkan anak kedua.

"Setelah kelahiran anak pertama sudah terlihat [perubahannya]. Suka marah, membentak seperti kerasukan. Pada saat itu mendapat pengobatan kampung dan mulai pulih. [Setelah] melahirkan anak kedua kambuh lagi," ungkap Hardin.

Perubahan sikap Mulfia juga ditandai dengan keengganannya memberi makan atau susu untuk anaknya.

Sebagian kerabat dan tetangga menyangka perubahan sikap yang Mulfia kerap tunjukkan sebagai akibat "kerasukan" dan memutuskan untuk memanggil dukun setempat untuk memberikan pengobatan tradisional.

Update Kasus Pembunuhan Anjanii Bee, Polisi Sudah Punya Gambaran Sosok Pelaku, Singgung Soal Motif

Kisah Wali Kota Risma Selamat dari Ancaman Pembunuhan, Hampir Diseruduk Truk & Rumah Dimasuki Ular

Setelah menikah dan melahirkan, sepanjang hari Mulfiah hanya tinggal di rumah bersama kedua anak mereka dan kerap ditemani ibu mertua membantu menjaga anak.

Sementara Haris, suaminya, pergi melaut sejak siang hingga malam hari.

Satu minggu sebelum peristiwa nahas terjadi, kerabat Mulfia datang menemani karena khawatir.

Tapi Mulfia melakukan sesuatu yang membuat orang-orang makin khawatir.

Saat itu bayi Mulfia dibaringkan di atas kakinya yang terjulur. Tapi ia mendadak melebarkan kedua kakinya hingga anaknya terjatuh setelah ia berselisih pendapat dengan orang di sekitarnya.

Beberapa hari kemudian, Mulfia sekeluarga ditempatkan di rumah kosong, setelah seminggu mereka ditampung sementara di rumah kakak Mulfia.

Tindakan itu dilakukan untuk mencoba menenangkan Mulfia.

Namun ternyata keputusan itu berakhir celaka.

Gangguan mental pasca melahirkan 

Dugaan pembunuhan bayi berusia 4 bulan oleh ibunya, Mulfia, ditangani Polres Baubau, yang kemudian mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan menyusul rekomendasi Rumah Sakit Jiwa Kendari yang menyatakan Mulfia mengalami gangguan kejiwaan.

Psikolog Universitas Muhammadiyah Buton (UMB) Ria Safaria memperkirakan 50%-80% perempuan mengalami depresi pasca melahirkan. Kelelahan dan perubahan hormon menjadi penyebab utamanya.

Ia menjelaskan, seorang ibu baru dikatakan mengalami sindrom baby blues jika menangis terus menerus selama 14 hari tanpa kontrol jelas dan tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai ibu secara alami.

Namun, jika situasi itu terus berlangsung selama lebih dari 14 hari, lanjutnya, maka ia diperkirakan mengalami depresi pasca melahirkan.

"Gejalanya memang hampir sama, hanya frekuensi dan durasinya yang membedakan. Kalau depresi pasca melahirkan itu lebih berat dan terasa sekali. Kalau baby blues syndromme wajar dan ringan," kata Ria.

Ria menyebut lingkungan di sekitar ibu sangat menentukan.

Dukungan suami dan orang-orang terdekat sangat penting, yang artinya, tak adanya dukungan juga dapat memperburuk kondisi mental ibu.

Jarak melahirkan yang terlalu dekat juga sangat menguras tenaga dan pikiran si ibu.

Ria menyebutkan rendahnya kesadaran akan akibat negatif perkawinan di usia dini mendorong berbagai masalah yang akhirnya ditanggung oleh perempuan.

Sudah 35 Saksi Diperiksa, Siapa Pelaku Pembunuhan Intan Anjanii Bee & Apa Motifnya? Ini Kata Polisi

"Orang banyak menyalahartikan bahwa menikah ya sudah yang penting kamu sudah menikah, berhubungan badan halal punya anak. Ya sudah urus [anak].

"Jadi seorang ibu tidak mudah, dia harus siap dengan kondisinya. Hormon juga memengaruhi. Jadi baby blues itu juga bisa memengaruhi ketika ibunya berusia dini."
Peran pemerintah untuk pemulihan

LSM APPAK (Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Peduli Perempuan dan Anak) di Pulau Buton menyebut kurangnya perhatian pemerintah terhadap isu kekerasan terhadap anak dan perempuan tercermin dalam anggaran daerah.

Menurut Sri Nurmala dari APPAK, pemerintah setempat tidak menyiapkan anggaran untuk program pemulihan korban kekerasan baik mental dan fisik, meski sudah diamanatkan dalam Undang-undang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).

"Mulfia merupakan korban dari ketidakpedulian kita, ketidakpedulian pemerintah," katanya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Baubau Wa Ode Soraya menyatakan dinasnya sudah memiliki mekanisme untuk menangani kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga.

"Untuk pemulihan korban, DP3A Kota Baubau mempunyai satgas sebanyak enam orang. Mekanismenya [perlu] ada laporan baik korban atau keluarganya. Satgas akan menjangkau," katanya.

Ia menambahkan psikolog juga dilibatkan dalam program pemulihan korban.

Cegah perkawinan anak 

Kisah Mulfia menggambarkan kompleksnya permasalahan yang muncul dari ketidaksiapan mental pasangan, terutama perempuan, yang menikah di usia muda.

Undang-undang Perkawinan di Indonesia mengamanatkan 19 tahun sebagai usia minimum bagi perempuan untuk menikah.

Akan tetapi, orang tua dari perempuan tersebut dapat meminta dispensasi menikah melalui Pengadilan Agama. Umumnya, orang tua menggunakan alasan agama - menikah untuk menghindari zina -- sebagai dasar permohonan.

Baik aktivis kesetaraan gender maupun pemerintah sepakat bahwa perkawinan anak perlu dientaskan karena dianggap sebagai praktik yang membahayakan, terutama bagi perempuan.

Sustainable Development Goals (SDGs) mengamanatkan untuk mengeliminasi segala praktik membahayakan, termasuk perkawinan anak, pada 2030.

Menteri Pemberdayaan Anak dan Perempuan Bintang Puspayoga mengatakan berbagai faktor berkontribusi terhadap tingginya angka perkawinan anak di Indonesia. 

Alasan ekonomi dan doktrin agama adalah dua di antaranya.

Rendahnya kesadaran akan konsekuensi negatif perkawinan anak, termasuk risiko kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, hingga kematian saat melahirkan dan stanting, juga dianggap faktor yang mendorong tingginya angka perkawinan anak di Indonesia.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), 1 dari 9 perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum berusia 18 tahun pada 2018.

Sementara itu, di tahun yang sama, prevalensi perempuan berusia 20-24 yang menikah sebelum 15 tahun adalah 0,56%.

"Pemerintah menargetkan mengurangi prevalensi [pernikahan anak] dari 11,2% menjadi 8,74% pada akhir 2024," kata Bintang pada peluncuran Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak di Jakarta pada Februari 2020.

Kementeriannya beserta 20 pemerintah provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi di Indonesia telah menandatangi komitmen untuk memutus mata rantai perkawinan anak.

Provinsi tersebut termasuk Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Jambi dan Papua.

"Tentu untuk mendapatkan hasil maksimal tidak bisa kami sendiri bergandengan tangan salah satunya pesantren-pesantren [..] ke sekolah-sekolah juga. Ini tindakan preventif yang akan kita lakukan untuk mencegah perkawinan anak. Mungkin [agar] sosialisasi efektif kita gandeng semua lintas baik agama, masyarakat, pemerintah, termasuk media," kata Bintang. (TribunNewsmaker.com/*)

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Kasus Mutia Bunuh Bayinya, Perkawinan Anak dan Ganguan Mental Pasca-melahirkan

dan di Tribunnews.com Alami Gangguan Mental Setelah Melahirkan, Mulfia Tega Tega Bunuh Bayinya, Nikah di Usia 17 Tahun

Sumber: Kompas.com
Tags:
pembunuhanbayiSulawesi Tenggaragangguan mental
Rekomendasi untuk Anda
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved