Breaking News:

Marak Pernikahan Anak saat Pandemi, Usia 14 Tahun Alami KDRT, Ortu Menyesal & Ingin Putrinya Sekolah

Selama pandemi Covid-19, marak kasus perkawinan anak di Indonesia. Ratusan kasus perkawinan anak dilaporkan terjadi selama pandemi ini.

Pixabay
Ilustrasi menikah 

TRIBUNNEWSMAKER.COM - Selama pandemi Covid-19, marak kasus perkawinan anak di Indonesia.

Ratusan kasus perkawinan anak dilaporkan terjadi selama pandemi ini.

Alasan nekat menikah pun beraneka ragam.

Tak hanya dengan alasan 'menghindari zina', pernikahan anak juga didorong karena faktor kesulitan ekonomi.

Terlebih dalam keadaan pandemi seperti ini.

Banyak yang kehilangan pekerjaan.

PILUNYA Nurhalimah Usia 19 Tahun Bakal Jadi Janda, Ungkap Akhir Sedih Pernikahannya

Viral Calon Pengantin Tertipu WO Ratusan Juta, Pesta Pernikahan Selamat Berkat Seorang Selebritis

Foto ilustrasi: Kampanye Stop Perkawinan Anak.(ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)
Foto ilustrasi: Kampanye Stop Perkawinan Anak.(ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra) 

Uang pun sulit didapatkan.

Banyak orangtua yang mengalami kesulitan ekonomi sehingga kesulitan menghidupi anak-anaknya.

Mereka pun menikahkan anaknya.

Padahal usia masih di bawah umur.

Seperti ibu yang merupakan warga desa di Provinsi Nusa Tenggara Barat ( NTB).

Ia menyesal sudah menikahkan anaknya yang baru berusia 14 tahun pada Mei 2020 lalu.

"Nyesel sekali, nyesel," kata Eni, bukan nama sebenarnya.

Penyesalan tersebut lantaran sang putri mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

Pada malam minggu pekan lalu, Eni berkeluh kesah, ia gelisah membayangkan nasib putrinya, Mona, (bukan nama sebenarnya), yang menjadi istri orang di usia di usia 14 tahun.

PILUNYA Nurhalimah Usia 19 Tahun Bakal Jadi Janda, Ungkap Akhir Sedih Pernikahannya

Meski merupakan pengantin baru, Eni mengatakan puterinya, yang disebutnya 'masih anak-anak dan labil' itu telah mengeluhkan kelakukan suaminya.

 

Mona mengatakan suaminya, yang lebih tua empat tahun darinya, berkali-kali memukulnya hingga mencakarnya.

Eni mengatakan hal itu membuatnya begitu menyesal telah mengizinkan putrinya menikah.

Situasi itu tak lepas dari pandemi Covid-19 yang menyebabkan anak-anak tak bisa kembali ke sekolah.

Eni mengatakan karena tidak bersekolah secara tatap muka, puterinya semakin sering sering pacaran dan pacarnya saat itu disebut Eni 'semakin sering ngapel ke rumah'.

Tak lama, mereka minta dinikahkan.

"Mona [bilang] dia mau minta kawin setelah tamat SMP.

Ibu larang dan bilang, 'kalau sudah jadi orang baru bisa kawin'.

Tapi dia nekat berdua.

"Kalau nggak diizinkan...[mereka bilang] daripada nanti malu ibu diomongin orang-orang kampung.

Sudah jalan berdua, kemana berdua kayak suami istri..." ujar Eni pada BBC News Indonesia melalui sambungan telepon.

Desakan itu membuat Eni merestui perkawinan anaknya yang digelar secara agama dan "disaksikan banyak orang".

Mona kini tinggal bersama suaminya.

Ia tak lagi sekolah, sementara suaminya baru mendapat pekerjaan informal dengan penghasilan di bawah upah minimum provinsi.

Apa yang terjadi pada Mona hanyalah satu kasus dari banyak perkawinan anak yang terjadi di masa pandemi.

Di NTB saja, sekitar 500 perkawinan anak dilaporkan telah terjadi dalam masa pandemi Covid-19.

Hal itu disampaikan Pelaksana Harian Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana Provinsi NTB Dede Suhartini, yang mengatakan data itu diterimanya dari organisasi nirlaba di wilayah itu.

NTB adalah satu dari 13 provinsi di Indonesia, yang menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), mengalami kenaikan angka pernikahan anak di atas batas nasional dalam periode 2018-2019.

Di Sulawesi Selatan, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Makassar, Rosmiati Sain, mengatakan selama pandemi ada sekitar sembilan kasus yang diterima LBH APIK dari tiga daerah, yakni Kota Makassar, Kabupaten Gowa, dan Pangkep.

Segera Dipersunting Pria Bule, Chef Marinka Beberkan Kisah Awal Bertemu Hingga Rencana Pernikahan

"Ada tiga kasus yang terjadi, karena pemaksaan.

Dipaksa orangtuanya menikah lantaran itu orangtuanya dari sisi ekonomi tidak bisa melaut karena penerapan PSBB," ungkap Rosmiati Sain kepada wartawan BBC News Indonesia di Makassar.

Sementara, dalam kurun waktu Januari hingga Juni tahun 2020, Badan Peradilan Agama Indonesia telah menerima sekitar 34.000 permohonan dispensasi kawin yang diajukan mereka mereka yang belum berusia 19 tahun.

'Mengapa mau menggagalkan anak saya menikah?'

Di sejumlah daerah, pegiat perlindungan anak dan perempuan berkejaran dengan waktu untuk menggagalkan perkawinan anak.

Saraiyah, 49, pegiat Sekolah Perempuan di sebuah desa di Lombok Utara, menceritakan kesibukannya menanggapi laporan-laporan warga yang masuk terkait perkawinan anak.

Di desanya saja, ada 12 pasangan, baik yang keduanya usia anak maupun yang salah satunya adalah anak, yang berniat untuk menikah saat pandemi Covid-19, tapi berhasil digagalkannya.

Ia melakukannya dengan melakukan sosialisasi dan melobi keluarga agar pernikahan dapat ditunda, tapi upayanya tak selalu berhasil.

Saraiyah menyebut praktik setempat, yang biasa disebut 'Merarik' atau 'Kawin Lari', yakni seorang laki-laki yang membawa kabur seorang perempuan untuk dinikahkan, membuat pemisahan semakin sulit.

"Karena namanya perempuan sudah dilarikan sama laki-laki, baik sudah satu malam atau dua malam, itu dianggap mencoreng nama baik tempat, dusun, termasuk sosial dan adat di sana," ujarnya.

Hal itu membuat sejumlah orang tua juga tokoh-tokoh di kampung menolak memisahkan pasangan yang melakukan kawin lari itu, kata Saraiyah.

"Orang tua anak itu bilang pada saya, 'Kenapa ibu ingin memisahkan, menggagalkan anak saya menikah? Masih banyak orang di luar sana, masih banyak yang melakukan perkawinan anak kok ibu tidak laporkan?'"

"Ibu (saya) benar-benar diserang keluarga... Kadang dibilang, 'ketika ibu pisahkan anak saya, bagaimana dengan psikologis, masa depan anak saya?' Itu jadi beban bagi ibu ketika ada kasus seperti itu."

Menurut Pelaksana Harian Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana Provinsi Nusa Tenggara Barat, Dede Suhartini, banyak orang yang melakukan perkawinan anak dengan bernaung di bawah alasan budaya.

Padahal, kata Dede, sejumlah pakar kebudayaan menyebut budaya Merarik tidak ditujukkan untuk mengizinkan perkawinan anak.

"Budaya itu sangat menghormati perempuan, sangat sakral kalau dilakukan dengan benar," ujarnya.

Hindari zinah hingga glorifikasi perkawinan

Owena Ardra, yang bekerja untuk proyek pencegahan perkawinan usia anak di Plan International Indonesia, mengatakan glorifikasi perkawinan yang marak di media sosial turut mendorong angka perkawinan anak saat pandemi.

"Masih banyak yang belum paham, apalagi dengan maraknya glorifikasi perkawinan di media sosial bahwa menikah itu penuh bahagia.

"Glorifikasi perkawinan mendorong pemahaman yang salah terhadap anak-anak dan remaja di Indonesia tentang apa itu konsep perkawinan, yang padahal di dalamnya banyak sekali tanggung jawab, persoalan-persoalan, dan sebagainya," ujarnya.

Di sejumlah daerah, restu orang tua pun sering kali diberikan karena mereka berusaha untuk 'menghindari zinah'.

"Padahal untuk menghindari zinah sebenarnya banyak solusi lain yang tidak mendatangkan masalah," ujar Owena.

Ia juga menemukan bahwa pernikahan anak selama pandemi semakin gencar karena terhambatnya pemberian layanan perlindungan selama pandemi.

"Misalnya temen-teman perlindungan anak desa, mereka biasanya setelah terima laporan kasus perkawinan usia anak dari masyarakat, mereka akan langsung koordinasi dengan pemerintah desa, Babinsa, bidan desa, lalu mereka datengin rumah anaknya.

"Lalu ada mediasi, sosiasi, lobbying sehingga keluarga dan anak menunda perkawinan anak.

Di masa pandemi kan tidak mungkin itu terjadi, sangat terbatas pertemuan tatap muka," ujarnya.

Tak hanya karena keinginan anak, di sejumlah wilayah dampingan Plan International Indonesia, perkawinan terjadi karena urusan ekonomi, ujar Owena.

"Orang tua yang belum dapat informasi mengenai perlindungan anak, mereka akan melihat anak sebagai beban ekonomi, sehingga ketika dinikahkan, mereka akan melihat tanggung jawab ekonomi yang berkurang."

Padahal, Owena mengatakan, perkawinan anak rentan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hingga perceraian.

Tak jarang anak akan kembali ke rumah dengan membawa anak, yang akan malah menambah beban ekonomi.

'Menikahkan anak bukan solusi dari menghadapi kesulitan ekonomi di masa pandemi Covid-19." (Tribunnewsmaker/*)

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pernikahan Anak Saat Pandemi, Istri Usia 14 Tahun ALami KDRT hingga Orang Tua Ingin Putrinya Kembali Sekolah"

dan di Tribunnews Marak Pernikahan Anak, Istri Usia 14 Tahun Alami KDRT, Ortu Menyesal & Ingin Putrinya Sekolah Lagi

Sumber: Kompas.com
Tags:
menikahpandemiCovid-19anakNTB
Rekomendasi untuk Anda
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved