Mengenal Penyakit Ngorok yang Menyebabkan Tewasnya Ratusan Kerbau secara Mendadak di Oki, Sumsel
Wabah penyakit pertama kali melanda wilayah baru, tingkat penyebaran akan sangat tinggi dan kematian dapat terjadi pada hewan di segala umur.
Editor: Sinta Manila
TRIBUNNEWSMAKER.COM - Ada sekitar 431 ekor kerbau yang tiba-tiba mati di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.
Penyebab kematian mendadak ratusan kerbau ini kuat dugaanya karena terjangkit penyakit ngorok.
Lantas, apa itu penyakit ngorok yang gejala awalnya terdengar suara mengorok atau keluarnya ingus dari hidung hewan.
Baca juga: Fenomena Misteri Belasan Kerbau Mati di Sumsel, Mendadak Terbujur Kaku hingga Penyebab Belum Tahu
Dinas Perkebunan dan Peternakan (Dibunnak) Kabupaten OKI mencatat, sejauh ini sudah ada 431 ekor kerbau yang mati karena virus ini.
Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Disbunnak OKI Sadi Purwanto menyatakan, pihaknya telah menyiapkan 1.200 dosis vaksin untuk diberikan kepada peternak yang kerbaunya terkena penyakit ngorok.
"Pengobatan massal sudah dilakukan, sekarang sudah 450 ekor kerbau diberikan vaksin di Kecamatan Pampangan, Pangkalan Lampang, dan Air Sugihan," ucap Sadi.
Baca juga: DITINGGAL Mandi, Wanita Syok Kalung Emas Miliknya Hilang, Ternyata Dimakan Kerbau: Harga Rp 28 Juta!

Penyakit ngorok atau septicaemia epizootica (SE) adalah salah satu penyakit hewan menular yang dapat mengganggu peningkatan populasi ternak serta bersifat akut dan fatal.
Dikutip dari studi di laman Kementerian Pertanian (Kementan), septicaemia epizootica merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri bernama Pasteurella multocida B:2, umumnya menyerang sapi dan kerbau.
Penyakit ini kebanyakan tersebar di negara-negara Asia Selatan dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Adapun kasus pertama di Indonesia ditemukan di Tangerang pada 1884.
Sejak saat itu, kasus ini telah dilaporkan setiap tahun terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia, seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan Selatan, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Tenggara
Pada tahun 1995, penyakit ngorok atau septicaemia epizootica digolongkan menjadi salah satu jenis Penyakit Hewan Menular Strategis di Indonesia.
Pemberantasan dan pengendalian penyakit ini kemudian berada di bawah tanggung jawab pemerintah pusat bersama pemerintah daerah.

Umumnya, kasus penyakit ngorok ini dilaporkan sebagai kematian hewan dalam waktu yang singkat.
Gejalanya, hewan mengalami peningkatan suhu tubuh, oedema submandibular di daerah dada, dan suara mengorok atau keluarnya ingus dari hidung hewan yang terjangkit.
Selain itu, hewan akan lesu dan lemah yang kemudian berujung pada kematian. Diketahui, kerbau lebih sensitif terhadap penyakit ngorok ini dibandingkan dengan sapi.
Sehingga, durasi terjangkit virus hingga kematian pada kerbau lebih pendek dibandingkan sapi. Gejala akan timbul setelah masa inkubasi virus sekitar 2-5 hari dengan menunjukkan tiga fase klinis.
Fase pertama adalah naiknya suhu tubuh yang diikuti fase gangguan pernafasan dan diakhiri oleh fase melemahnya kondisi hewan.
Meski begitu, berbagai fase gejala klinis tersebut tidak selamanya terjadi secara berurutan dan sangat tergantung pada lamanya penyakit.
Penularan penyakit ngorok atau septicaemia epizootica biasanya dipengaruhi oleh stres, kepadatan hewan, manajemen pemeliharaan, dan musim.

Masa penularan bakteri penyebab penyakit ini terjadi ketika hewan mengalami "leleran" hidung pada fase demam awal.
Dengan kondisi lembab atau basah yang mendukung, bakteri yang keluar dari "leleran" hewan yang sudah terinfeksi bisa bertahan selama seminggu, sehingga memungkinkan penularan tak langsung ke hewan lainnya.
Apabila wabah penyakit pertama kali melanda wilayah baru, tingkat penyebaran akan sangat tinggi dan kematian dapat terjadi pada hewan di segala umur.
Meski bisa terjadi setiap saat, penyakit ini umumnya terjadi dan berkembang selama musim penghujan di mana hewan banyak mengalami stres.
Vaksinasi masih menjadi cara yang utama untuk melakukan pengendalian penyakit ngorok atau SE.
Karena sifat penyakit ini yang bisa akut atau bisa tidak menimbulkan gejala, pengendalian virus masih bergantung pada tindakan vaksinasi.
Biasanya, vaksin yang digunakan untuk penyakit ngorok ini adalah alum presipitat dengan dua kali penyuntikan per tahun.
Namun, peternak juga bisa menggunakan vaksin lain, berupa vaksin beradjuvan minyak yang selama ini digunakan sekali suntikan per tahun.
Sumber: Kompas.com
Kemana Pacar Alberto Tanos Setelah Cucu 9 Naga Dibunuh? Menghilang setelah Disebut Pemicu Tewas |
![]() |
---|
Drama OTT KPK Kolaka Timur: Bupati Berpidato di Makassar, Tim Penyidik Bergerak Senyap |
![]() |
---|
Bermotto Saiyo, Ini Rangking 9 Kabupaten Termaju Sumbar, Kalah Jauh dari Tanah Datar, Agam, Solok |
![]() |
---|
Bupati Klaten Hamenang Ikut Kirab Gunungan Apem Yaa Qawiyyu, Tradisi Warisan Kiai Ageng Gribig |
![]() |
---|
Salip Pasaman & Mentawai tapi Keok dari Agam, Ini Posisi 7 Kabupaten Termaju Sumbar, Luak Limopuluah |
![]() |
---|