Berita Viral
Jembatan Perahu Haji Endang di Karawang Terancam Tutup, Akses Utama Desa Anggadita & Parungmulya
Selama 15 tahun, jembatan perahu milik Haji Endang menjadi urat nadi transportasi ribuan warga di Karawang, Jawa Barat.
Editor: Eri Ariyanto
TRIBUNNEWSMAKER.COM - Selama 15 tahun, jembatan perahu milik Haji Endang menjadi urat nadi transportasi ribuan warga di Karawang, Jawa Barat.
Dengan tarif hanya Rp2.000, jembatan ini bukan hanya mempersingkat waktu tempuh pekerja pabrik, tapi juga menjadi sumber nafkah bagi 40 orang pegawai lokal.
Namun kini, jembatan yang menghasilkan omzet Rp20 juta per hari itu mendadak terancam ditutup karena dianggap tak berizin.
Di tengah tekanan regulasi, Haji Endang pun bersuara membela fungsi sosial jembatannya yang jauh lebih besar dari sekadar persoalan legalitas.
Baca juga: Sosok & Profil Pembalap Veda Ega, Podium 3 Red Bull Rookies Cup, Asal Wonosari, Gunungkidul DIY
Seperti diketahui, Jembatan Haji Endang mendadak dipasang spanduk peringatan oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum.
Padahal jembatan itu menghubungkan Desa Anggadita, Kecamatan Klari, dengan Desa Parungmulya, Kecamatan Ciampel, Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Spanduk dipasang di tiang area jembatan pada Senin (28/4/2025) dan bertuliskan:
"Berdasarkan UU Nomor 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, jembatan ini tidak memiliki izin melintasi sungai."
Namun, pada keesokan harinya, Selasa (29/4/2025), spanduk tersebut diturunkan oleh warga.
Peringatan dari BBWS Citarum itu disampaikan pula melalui unggahan akun Instagram resmi mereka, @pu_sda_citarum.
Dalam unggahan tersebut ditegaskan bahwa pembangunan dan pengoperasian jembatan perahu tanpa izin melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air.

Selain itu, Peraturan Menteri PUPR Nomor 28 Tahun 2015 menyebutkan bahwa pemanfaatan sempadan sungai harus mendapatkan izin dari pemerintah sesuai kewenangannya.
Menurut BBWS, keberadaan jembatan tanpa izin berpotensi mengganggu fungsi alami sungai, terutama saat debit air meningkat atau saat terjadi bencana banjir.
Mereka berharap pemasangan spanduk tersebut dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kepatuhan terhadap regulasi sumber daya air.
Mereka juga mendorong adanya koordinasi antara pihak pengelola jembatan, pemerintah daerah, dan BBWS untuk mencari solusi terbaik demi kepentingan masyarakat sekitar.
Menanggapi spanduk tersebut, Endang, mengatakan, jembatan perahunya sudah mengantongi Nomor Induk Berusaha (NIB).
"Walaupun saya izin sebenarnya ada yah, boleh lah anggap saya ilegal, tapi manfaatnya banyak. Dibilang dia berbayar, saya kan bukan baru sekarang, udah 15 tahun berjalan," ujarnya saat ditemui di jembatan perahu, Selasa (29/4/2025), melansir dari Kompas.com.
Endang menyebut pengendara roda dua yang melintasi jembatan membayar Rp 2.000.
Uang tersebut digunakan untuk perawatan jembatan, jalan, penerangan, hingga gaji 40 pekerja yang mayoritas merupakan warga sekitar.
"Sekarang yang kerja 40 orang, belum keluarga, anak. Harus ditutup? Dari mana (penghasilan)? Apa suruh ngegarong anak buah saya, jadi perampok. Nah itu logika aja, pemerintah gak sembarangan," ucap Endang.
Endang juga mempertanyakan mengapa hanya jembatannya yang dipersoalkan, padahal menurutnya sudah banyak jembatan serupa yang berdiri.
"Di sini sudah banyak yang bikin kaya gini, nyontoh saya, tapi saya lihat saya cek cuma saya aja. Yang lain gak ada. Ada unsur apa ini?" ujarnya.

Meski begitu, ia mengaku tak ingin berburuk sangka dan tetap terbuka untuk diwawancarai media sebagai bentuk edukasi.
"Untuk edukasi kepada keluarga, saudara se-tanah air, mungkin di lingkungan ada kaya gini, bisa dimanfaatkan," ujarnya.
Endang juga meminta agar pihak berwenang mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi sebelum mengambil keputusan untuk menutup jembatan tersebut.
"Kalau menutup pikirkan dong dampak terhadap masyarakat sini yang orang kerja," pungkasnya.
Diketahui, jembatan tersebut dulunya merupakan perahu eretan yang dioperasikan secara manual untuk menyeberangkan kendaraan roda dua.
Kini, jembatan perahu berbasis ponton itu menjadi akses vital bagi ribuan pekerja pabrik di kawasan industri Klari dan Ciampel.
Seorang pengendara, Nugraha, mengaku sangat terbantu dengan keberadaan jembatan.
"Membantu, tidak apa-apa bayar Rp 2.000," katanya, Selasa (29/4/2025).
"Bisa jadi jalan pintas, kalau memutar lumayan lama."
Muhammad, pekerja di kawasan Surya Cipta, juga menyatakan hal serupa. Menurutnya, jembatan sangat membantu mengejar waktu kerja di tengah kemacetan.
"Kalau telat takut kena sanksi. Kalau bisa jangan ditutup, diselesaikan antara kedua pihak bagaimana baiknya," ujarnya.
Beromzet Rp 20 Juta
Jembatan perahu yang dibangun Muhammad Endang Junaedi dan menjadi jalan pintas warga Desa Anggadita, Kecamatan Klari, dan Desa Parungmulya, Kecamatan Ciampel, sudah berusia 15 tahun.
Namun, bentuk perahunya telah berubah dari masa ke masa.
Dahulu, bentuknya bukan jembatan, melainkan perahu dari kayu yang dieret.
Karena itu, jika muatan penuh, perahu dieret menuju sisi sungai seberang dan pengendara yang tidak terangkut harus menunggu.
Kini, penampilannya lebih modern, dengan sekitar 11 perahu ponton yang dijajar dari sisi Dusun Rumambe 1, Anggadita, Kecamatan Klari, hingga Desa Parungmulya, Kecamatan Ciampel.
Di atasnya dipasang pelat besi atau baja. Kemudian, di sepanjang sisi-sisinya dipasang tali pengaman.
Area menuju jembatan diaspal dan dipasang penerangan, baik di sisi sungai Desa Anggadita maupun Parungmulya.
Konon, jalan di sisi Desa Anggadita itu merupakan jalan buntu yang sunyi.
Di sisi lain jembatan, ada sejumlah pekerja yang tengah melakukan pemeliharaan perahu.
Endang menyebut pegawainya hingga kini ada 40 orang, masing-masing memegang tugas tersendiri.
Ada yang bertugas mengontrol dan mengawasi jembatan perahu, penarik uang dari pengendara, hingga teknisi. Mereka bekerja dengan sistem shift.
Menurut Endang, setiap hari tak kurang dari 10.000 pengendara sepeda motor melewati jembatan perahu ponton itu.
Ia menyebut tak kaku mematok pengendara harus membayar Rp 2.000.
"Pendapatannya tak kurang Rp 20 juta per hari," ucapnya.
Meski begitu, kata dia, tiap hari biaya operasional berkisar Rp 8 juta, mulai dari perawatan, penerangan, hingga upah.
"Perawatan itu termasuk juga perawatan jalan akses ke sini," ucap Endang.
Jembatan ini ramai dilintasi pengendara saat jam berangkat dan pulang kerja karyawan pabrik.
Sebab, banyak pekerja maupun warga menjadikannya jalan pintas.
(TribunNewsmaker.com/TribunJatim.com)
Sosok Affan Kurniawan, Ojol Muda dari Palmerah Jakbar yang Tewas Terlindas Mobil Brimob saat Demo |
![]() |
---|
Tangis Akbar Cowok 20 Tahun Dipaksa Ikut Demo di Gedung DPR 28 Agustus, Terisak di Pinggir Jalan |
![]() |
---|
Sosok Robin Westman Pelaku Penembakan Brutal di Sekolah Minneapolis AS, Meninggal Usai Bunuh 2 Bocah |
![]() |
---|
Sosok Said Iqbal, Komandan Aksi Ribuan Buruh Hari Ini yang Terus Lantang Suarakan Keadilan |
![]() |
---|
Heboh Penemuan Potongan Kaki di Tempat Sampah, Ternyata Milik Pasien RS di Ternate Setelah Amputasi |
![]() |
---|