Jakob Oetama Meninggal Dunia

Tangis Masyarakat Atas Kepergian Jakob Oetama, Jadi Trending & Ramai Ucapan Belasungkawa di Medsos

Editor: Irsan Yamananda
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pendiri Kompas Gramedia, Jakob Oetama meninggal dunia pada Rabu (9/9/2020).

TRIBUNNEWSMAKER.COM - Kepergian Jakob Oetama ditangisi masyarakat Indonesia.

Jakob Oetama meninggal dunia pada Rabu, 9 September 2020 pukul 13:05 WIB di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading.

Jakob Oetama menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia 88 tahun.

Sebelum wafat, almarhum sempat mengalami koma atau kritis sejak Minggu (6/9/2020) sore.

Jakob Oetama dirawat di rumah sakit sejak tanggal 22 Agustus 2020.

Sejak awal masuk RS, Jakob Oetama berada dalam kondisi kritis.

• Penuh Makna, Sederet Kutipan Kata-Kata Bijak Inspiratif Jakob Oetama, Sang Pendiri Kompas Gramedia

• 64 Tahun Berkarier, Inilah Sederet Penghargaan Bergengsi yang Sukses Dicapai Seorang Jakob Oetama

Pendiri Kompas Gramedia, Jakob Oetama meninggal dunia pada Rabu (9/9/2020). (Istimewa)

Dikutip dari Kompas.com, dokter Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Felix Prabowo Salim mengatakan Jakob Oetama mengalami gangguan multiorgan.

Kondisinya memburuk karena faktor usia dan penyakit komorbid yang dideritanya.

Pendiri Kompas Gramedia, Jakob Oetama, meninggal dunia pada usia 88 tahun di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rabu (9/9/2020).

Ucapan belasungkawa atas kepergian Jakob Oetama juga mengalir di internet, terutama di jejaring sosial Twitter.

Pantauan KompasTekno, Rabu (9/9/2020) pukul 14.00 WIB, kata kunci "Pak Jakob Oetama" menduduki posisi kedua daftar trending topic Twitter Indonesia.

Berbagai kenangan dibagikan warganet tentang Jakob Oetama, mulai dari sosok penting di dunia jurnalisme Indonesia hingga kenangan-kenangan yang membekas saat bertemu pria yang akrab disapa Pak JO itu.

Ada juga warganet yang mengenang kerendahan hati Pak JO dan ajarannya untuk selalu bersyukur.

Seperti yang disampaikan oleh akun @sandwichjae dan @ilhamkhoiri berikut ini:

Pengguna lainnya, @nibrasnada, juga turut berbelasungkawa dan mengunggah posting yang disertai dengan foto Jakob Oetama yang diambil pada tahun 1975.

Akun @giewahyudi juga mengunggah posting serupa. Namun, ia mengutip sebuah perkataan Pak JO terkait pandangan beliau tentang lembaga dan Indonesia, berikut sebuah cuplikan video tentang yang diiringi lagu berjudul "Ibu Pertiwi".

Jakob Oetama tutup usia pada Rabu (9/9/2020) sekitar pukul 13.05 WIB di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta Utara, dalam usia 88 tahun.

Almarhum akan disemayamkan di Kantor Kompas Gramedia, Palmerah Selatan, Jakarta, dan akan diantarkan menuju tempat peristirahatan terakhir di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada Kamis (10/9/2020).

Jakob Oetama mengawali kariernya pertama kali menjadi seorang guru.

Namun, dia kemudian memilih jalan sebagai wartawan hingga kemudian mendirikan media Kompas Gramedia bersama rekannya, PK Ojong.

Asal mula nama Harian Kompas

Hari ini, Minggu (28/6/2020), Harian Kompas tepat berusia 55 tahun, terhitung sejak pertama kali terbit pada 28 Juni 1965 silam.

Usia 55 tahun bukanlah angka yang singkat dalam sebuah perjalanan waktu. Lebih dari separuh abad Harian Kompas turut mengawal perkembangan yang terjadi republik ini.

Berbicara mengenai nama "Kompas", ada peran besar Presiden RI pertama Soekarno, di balik pemberian nama tersebut.

Dikutip dari buku Syukur Tiada Akhir, Jejak Langkah Jakob Oetama (2011), kehadiran Kompas berawal dari situasi politik tegang yang terpolarisasi kala itu.

Setelah Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 terbit, ada tiga kekuatan politik besar yang muncul.

Pertama, Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Dekrit Presiden menyebabkan konsolidasi kekuasaan dan politik terpusat kepada Bung Karno, yang menjalankan praktik demokrasi terpimpin.

Kedua, adalah Partai Komunis Indonesia yang merapat pada Bung Karno. PKI juga memiliki sejumlah media yang menjadi corong partai dan menyebarkan pemikirannya secara masif.

Dalam beberapa hal, pemikiran itu dinilai cenderung membelenggu masuknya informasi dari luar.

Ketiga, adalah kekuatan ABRI yang berusaha meredam kekuatan politik PKI. ABRI berusaha menjalin kerja sama dengan organisasi masyarakat dan politik yang non atau anti-komunis.

Pada April 1965, Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Achmad Yani mengusulkan kepada mantan Menteri Perkebunan Frans Seda agar mendirikan surat kabar non-partai untuk mengimbangi hegemoni surat kabar partisan.

Frans Seda yang juga merupakan tokoh katolik kemudian menemui Ketua Umum Partai Katolik Indonesia Ignatius Joseph Kasimo untuk merealisasikan gagasan tersebut.

PK Ojong dan Jakob Oetama

Duo Jakob Oetama dan Petrus Kanisius (PK) Ojong yang sebelumnya telah mendirikan majalah Intisari pada 1963 pun dilibatkan.

Pelibatan ini atas dasar keduanya memiliki pengalaman dalam memimpin surat kabar.

Dilansir dari laman Korporasi.Kompas.id, Jakob Oetama sebelumnya merupakan redaktur mingguan Penabur, sedangkan PK Ojong adalah pemimpin redaksi mingguan Star Weekly.

Namun, rencana pelibatan itu tidak serta merta diterima begitu saja oleh keduanya.

"Kami berdua sebenarnya enggan menerima permintaan menerbitkan surat kabar Kompas. Lingkungan politik, ekonomi dan infrastruktur pada masa itu tidak menunjangnya," tulis Jakob dalam Tajuk Rencana Kompas yang terbit pada 2 Juni 1980 lalu.

Hal itu tidak terlepas dari pandangan politik keduanya yang menolak belenggu pemerintahan Soekarno terhadap masuknya informasi dari luar.

Lahirnya majalan Intisari pun dimaksudkan untuk mendobrak politik isolasi yang dilakukan Soekarno kala itu.

Namun pada akhirnya Jakob dan Ojong sepakat dengan persyaratan. Harian yang hendak terbit bukanlah corong partai, berdiri di atas semua golongan, bersifat umum dan berdasarkan kemajemukan Indonesia.

Kesepakatan itu dicapai dan akhirnya Yayasan Bentara Rakyat didirikan.

Nama tersebut terinspirasi dari majalah Bentara yang populer di Flores.

Di balik nama Kompas

Setelah ide disepakati, tahap berikutnya adalah proses mendapatkan izin.

Salah satu syarat yang harus dipenuhi yaitu bkti adanya pelanggan, setidaknya berdasarkan 3.000 tanda tangan.

Berkat bantuan Frans Seda, persyaratan itu dipenuhi.

Namun, Frans Seda yang saat itu merupakan anggota kabinet, akhirnya melaporkan rencana itu kepada Soekarno.

Saat itu, nama harian yang hendak dipublikasikan adalah Bentara Rakyat.

Soekarno tak keberatan. Bahkan ia memberikan nama lain yang kelak menjadikan harian Kompas sebagai koran terbesar di Indonesia hingga kini.

"Aku akan memberi nama yang lebih bagus.. 'Kompas'. Tahu toh apa itu kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan hutan rimba.." ujar Soekarno.

Ketika dummy dengan kop Bentara Rakyat siap dicetak, usulan Bung Karno pun disampaikan dan diterima.

Wartawan Kompas saat itu, Edward Linggar, langsung menyiapkan logo dalam semalam.

Logo disetujui Jakob dan Ojong, dan dipakai hingga kini.

Kendati, logo yang ada saat ini sudah mengalami perubahan kecil, terutama dalam hal tebal dan tipisnya huruf. 

(Tribunnewsmaker.com/*)

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Jakob Oetama Meninggal Dunia, Masyarakat Berduka di Twitter dan dan Bung Karno, Sosok di Balik Nama Harian Kompas...

BACA JUGA : di Tribunnews.com dengan judul Tangis Masyarakat Atas Kepergian Jakob Oetama, Jadi Trending dan Ramai Ucapan Belasungkawa di Medsos.