TRIBUNNEWSMAKER.COM - Tiap bulan September, semua orang selalu ingat memori kelam sejarah pembunuhan 7 jenderal Pahlawan Revolusi, tapi Ilham Aidit, putra DN Aidit, ingatkan insiden tak kalah mengerikan selain pembunuhan 7 jenderal.
Insiden tersebut bahkan menelan korban jiwa hingga 1 juta tewas, tapi nyaris dilupakan masyarakat Indonesia.
Insiden dengan korban 1 juta tewas apakah yang dimaksudkan Ilham Aidit, putra DN Aidit?
Baca juga: Mengenang Kembali 10 Pahlawan Revolusi yang Gugur Jadi Korban Bengisnya Peristiwa Penghianatan G30S
Sebagian masyarakat Indonesia, pada setiap akhir bulan September pasti teringat dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S).
Di mana ada 6 (enam) Jenderal TNI AD dan 1(satu) orang Perwira Menengah TNI AD tewas dibunuh pada subuh tanggal 1 Oktober 1965 di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Peristiwa tahun 1965 tersebut menjadi sejarah kelam bangsa Indonesia, sebab dampak ikutan yang terjadi ketika itu sangat luar biasa.
Putra keempat Dipa Nusantara Aidit (DN Aidit), Ilham Aidit mengatakan dampak dari peristiwa G30S sangat sedikit dibicarakan di banyak literatur dan buku-buku sejarah.
Kebanyakan orang kata dia sibuk dan hanya fokus dengan peristiwa G30S.
"Padahal dampaknya luar biasa juga. Dampaknya ada penjarahan, penangkapan, pemenjaraan ada yang mengakibatkan terbunuhnya satu juta orang lebih." kata Ilham saat diwawancarai khusus dengan Tribun beberapa waktu lalu di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
"Kemudian ada peristiwa hampir 12 ribu orang dibuang ke pulau Buru," sambungnya.
"Kemudian eksils jadi pelarian politik banyak sekitar 800 orang yang sampai sekarang itu masih ada di luar negeri akibat kebijakan pemerintah yang tidak memperbolehkan mereka kembali."
Baca juga: Sosok Wawan Wanisar, Aktor Senior yang Bintangi Film Pengkhianatan G30S/PKI hingga Puluhan Sinetron
Selain itu lanjut Ilham ada juga Peraturan Mendagri tahun 1981 yang melarang mereka yang terkait langsung atau tidak langsung dengan PKI atau komunisme sulit untuk menjadi pegawai negeri sipil(PNS), pengajar atau guru, tentara serta melarang mereka menjadi orang-orang yang bisa masuk ke lembaga tinggi negara.
Bahkan Ilham juga gagal menjadi seorang PNS sebanyak dua kali lantaran menjadi keturunan dari DN Aidit.
"Nah rangkaian dari peristiwa itu ada lima fragmen. Dan menurut saya itu harus menjadi bagian dari sejarah bangsa ini," ujarnya.
Kata Ilham, ada keterlibatan negara secara intens secara sengaja terstruktur dan masif dan untuk kemudian mendiskriminasikan keturunan PKI ataupun pendukung Soekarno dan itu sebetulnya sangat-sangat kejam.
"Peluang hidup orang dipersempit gara-gara itu," ujarnya.
Karena itu lanjut Ilham, masyarakat saat ini harus menyikapi peristiwa kelam 1965 dengan berani melihat masalah masa lalu dan menyelesaikannya dengan baik.
Tidak hanya itu masyarakat harus melakukan kajian ulang sejarah bangsa ini dengan jujur dab berani kemudian dituliskan di buku-buku sejarah agar generasi mendatang mewarisi sejarah yang benar.
"Barulah mereka berguna untuk melangkah ke masa depan," ujarnya .
Sebut Persekusi dan Stigmatisasi Eks PKI Masih Terjadi Hingga Saat Ini
Putra keempat Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit, Ilham Aidit menyebut hingga saat ini persekusi, diskriminasi bahkan kekerasan terhadap keturunan atau orang-orang yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan Partai Komunis Indonesia(PKI) masih saja terjadi di akar rumput.
Padahal kata Ilham sudah banyak aturan-aturan yang sifatnya diskriminatif terhadap PKI dicabut juga dokumen negara tertulis dan menjelaskan dengan terang benderang mengenai peristiwa G30S.
Ilham bahkan menceritakan pada tahun 2016 saat ada peluncuran sebuah buku di kawasan Cikini, Jakarta Pusat masih terjadi aksi persekusi, diskriminasi, dan kekerasan.
"Masih berkali-kali terjadi saat ada kegiatan di tahun 2016 kalau enggak salah ada kegiatan di TIM dibubarkan." ujar Ilham saat diwawancarai khusus oleh Tribun beberapa waktu lalu.
"Padahal pencabutan aturan perundangan sudah dilakukan ternyata di akar rumput masih terjadi," bebernya.
Ilham mengatakan setelah reformasi, ada angin segar bahwa kemudian persekusi, diskriminasi atau stigmatisasi terhadap keturunan PKI dan pengikutnya bakal berkurang.
Tetapi kemudian kata dia masih ada segelintir orang yang mencoba menggoreng lagi masalah tersebut.
Membicarakan soal komunisme, kudeta, dan sebagainya.
Ia pun menyebut nama eks Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang menurutnya tidak memiliki motif jelas mengungkit kembali isu-isu soal PKI.
"Seperti misalnya ada mantan pejabat maaf pak Gatot Nurmantyo masih dengan semangat membara menyebut komunisme di Indonesia masih ada, mereka bangkit, mereka bergerak dan sebagainya." kata Ilham.
"Sebenarnya gampang, kalau betul ada anda informasikan kepada aparat tunjukkan dimana kantornya, rampas dokumennya bawa ke pengadilan dan adili kalau salah tapi jangan kemudian hanya giring opini tanpa bukti itu berbahaya," ujar Ilham.
"Sebab kita sedang semangat membicarakan negara demokrasi dan menghilangkan diskriminasi dan stigma tapi anda terus menggaungkan soal itu entah kepentingannya apa ya, bisa jadi memang mereka mereka ini itu hanya bisa eksis kalau bicara PKI, PKI sudah tidak ada, PKI sudah bangkrut bahkan mereka sudah tua umurnya 80 sampai 90 tahun tapi itu kemudian dibangkitkan karena dengan bangkitnya isu itu mereka jadi eksis itu tidak fair," tambah Ilham.
Ilham juga mengaku sedih dan muak dengan pihak-pihak yang masih menggoreng isu soal PKI dan komunisme.
Meski kata dia dirinya dan beberapa keturunan PKI lainnya sudah menduga bakal terjadi hal seperti itu.
"Di satu pihak ini menyedihkan kapan ini berakhir, kapan stigma ini berakhir." kata Ilham.
"Kami memang sudah sangat siap bahkan ini tidak berakhir pada ujungnya, pun kita sudah sangat siap karena memang ada begitu banyak orang yang mengambil isu ini atau makanan basi ini untuk terus diperdagangkan." lanjutnya.
"Dengan memperdagangkan itu kemudian mereka eksis lagi itu juga saya pikir sikap-sikap memuakkan dari orang-orang yang menggoreng isu ini, karena kami sebetulnya masih ada banyak hal-hal yang harus dibicarakan selain masalah komunisme," pungkasnya.
Diolah dari berita tayang di Tribunnews.com