Breaking News:

Berita Viral

5 Fakta Pengunjung Makan Seafood di Labuan Bajo Habis Rp16 Juta, Sebut Kualitas Ekspor: Minta Diskon

Inilah 5 fakta pengunjung makan seafood di Labuan Bajo NTT, habis Rp16 juta, pedagang sebut kualitas ekspor: 'Minta diskon'

Koalse Kompas.com
GETOK HARGA - (kiri)Potret nota pemesanan seafood rombongan agen travel saat bersantap di kawasan Kuliner Kampung Ujung, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT). 
Ringkasan Berita:
  • Rombongan wisatawan domestik dibuat terkejut saat menikmati makan malam di kawasan kuliner populer Kampung Ujung, Labuan Bajo.
  • Mereka menyantap hidangan laut segar seperti ikan bakar, cumi, dan udang, dengan total biaya mencapai Rp16 juta.
  • Pedagang membantah ketok harga, sebut kualitas ekspor.

TRIBUNNEWSMAKER.COM - Rombongan wisatawan domestik dibuat terkejut saat menikmati makan malam di kawasan kuliner populer Kampung Ujung, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, ketika tagihan yang datang ternyata jauh dari dugaan.

Setelah puas menyantap beragam hidangan laut segar seperti ikan bakar, cumi, dan udang, mereka nyaris tak percaya melihat total biaya yang harus dibayar mencapai Rp16 juta, sudah termasuk pajak 10 persen.

Kejadian ini sontak menyita perhatian publik dan menjadi viral di media sosial karena dianggap mencoreng citra Labuan Bajo sebagai destinasi wisata unggulan Indonesia yang tengah digencarkan pemerintah.

Pihak travel yang memimpin rombongan menyebut nominal tersebut tidak masuk akal, apalagi dengan nota pembayaran yang hanya ditulis tangan tanpa rincian harga yang jelas.

Mereka juga mengaku sempat mencoba mengonfirmasi langsung ke pihak warung, namun tak mendapat jawaban memuaskan terkait rincian harga makanan yang mencapai belasan juta rupiah.

Sementara itu, para pedagang di kawasan Kampung Ujung membantah keras tudingan “getok harga”, menegaskan bahwa semua menu telah dijelaskan dengan rinci sebelum pesanan dibuat.

Beberapa pedagang bahkan menunjukkan daftar harga yang menurut mereka telah dipasang secara terbuka di depan lapak masing-masing agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.

Hingga kini, perdebatan mengenai siapa yang salah dalam insiden “  tagihan Rp16 juta” ini masih terus bergulir, menjadi pelajaran penting tentang perlunya transparansi harga dan edukasi bagi wisatawan maupun pelaku usaha lokal.

Baca juga: Penjual Olahan Seafood Ini Ternyata Artis Langganan FTV, Heboh Berseteru dengan Teman: Dulu Dekil

GETOK HARGA - (kiri)Potret nota pemesanan seafood rombongan agen travel saat bersantap di kawasan Kuliner Kampung Ujung, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT).
GETOK HARGA - (kiri)Potret nota pemesanan seafood rombongan agen travel saat bersantap di kawasan Kuliner Kampung Ujung, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT). (Koalse Kompas.com)

1. Tagihan Fantastis yang Bikin Syok

Sebuah rombongan wisatawan domestik mendadak heboh setelah menikmati makan malam di kawasan kuliner Kampung Ujung, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.

Usai menyantap aneka seafood, mereka dikejutkan dengan total tagihan mencapai Rp16 juta, sudah termasuk PPN 10 persen.

Yang membuat mereka makin kaget, nota pembayaran ditulis secara manual, bukan menggunakan mesin kasir resmi.

Dari situlah muncul dugaan adanya “getok harga” atau penetapan harga yang dianggap tidak wajar.

Insiden ini terjadi pada Minggu malam, 26 Oktober 2025, dan langsung viral karena dianggap mencoreng citra destinasi wisata premium seperti Labuan Bajo.

2. Kekecewaan dari Pihak Travel

Ketua Umum ASTINDO, Pauline Suharno, ikut menyoroti kasus ini.

Ia mengaku kecewa dan menilai kejadian tersebut sebagai pengalaman yang tidak seharusnya dialami wisatawan.

“Kami minta dihitung ulang, dan akhirnya turun jadi Rp11 juta. Tapi tetap saja ini contoh yang tidak baik,” ujar Pauline di Labuan Bajo, dikutip dari Tribun Jateng.

Pauline juga menyayangkan penggunaan nota manual.

“Kami ini taat pajak, tapi mau tahu uang pajak itu benar-benar disetor atau tidak,” ujarnya.

Ia menilai, wisatawan domestik seharusnya tidak disamakan dengan turis mancanegara dalam hal penetapan harga.

“Kami ini turis domestik, mestinya ada perlakuan berbeda,” tambahnya.

Selain itu, Pauline menegaskan pedagang seharusnya memberikan informasi harga secara transparan sebelum pesanan diolah.

Ilustrasi seafood
Ilustrasi seafood (sajiansedap.grid.id/Instagram @syifa.nia)

Baca juga: WASPADA Pecinta Seafood, Pria Tewas Terinfeksi Bakteri Pemakan Daging dari Kerang, Kenali Gejalanya

3. Pedagang Membantah Ada “Getok Harga”

Pernyataan Pauline segera ditanggapi oleh salah satu pedagang berinisial Y, yang diwawancarai pada Kamis, 30 Oktober 2025, oleh Kompas.com.

“Apa yang disampaikan itu tidak benar. Faktanya tidak seperti itu. Tidak benar tuduhan itu. Semuanya sudah dijelaskan di awal,” tegas Y.

Menurut Y, semua harga sudah disampaikan dengan jelas kepada pihak yang memesan.

Ia menuturkan bahwa awalnya ada seorang pria datang memesan makanan untuk 18 orang, yang kemudian bertambah menjadi 26 orang.

“Saat itu dia buka HP dan pesan ikan, kepiting, dan udang. Lalu saya tanya, mau pesan ikan apa pak? Apakah ikan ekspor atau lokal. Soalnya beda harga,” katanya.

4. Rincian Harga yang Dipersoalkan

Pedagang Y menjelaskan bahwa pembeli memilih ikan ekspor, lobster, dan kepiting dari akuarium, yang tentu harganya lebih tinggi.

“Harga kepiting akuarium Rp350 ribu per kilogram, ikan ekspor Rp300 ribu per kilogram, dan lobster Rp700 ribu per kilogram,” jelasnya.

Saat total dihitung, rombongan wisata kaget karena jumlahnya mencapai Rp15,8 juta termasuk PPN 10 persen. Namun, menurut Y, pihak rombongan meminta diskon dan akhirnya membayar Rp14,3 juta.

“Tidak benar kalau mereka hanya bayar Rp11 juta, dan itu katanya setelah mereka protes dan hitung ulang. Seolah-olah saya berbohong,” ujarnya sambil menunjukkan bukti transfer.

Y juga menjelaskan bahwa nota manual digunakan karena seluruh pedagang di Kampung Ujung memang belum mendapat mesin pencatat pajak dari Dinas Pendapatan Daerah.

“Dinas terkait mengatakan, mereka sementara berusaha untuk pengadaan mesin. Bukan kami yang tidak mau,” kata Y.

5. Respons dan Pelajaran untuk Wisatawan

Y menambahkan, pihaknya selalu berupaya melayani dengan baik meski terkadang pesanan datang berulang dan jumlah pengunjung bertambah banyak.

“Apalagi yang datang 26 orang dan berapa kali pesan tambahan,” imbuhnya.

Kasus ini menjadi pembelajaran penting bagi pelaku wisata dan pengunjung: transparansi harga, komunikasi yang jelas, dan bukti transaksi resmi adalah hal krusial agar tidak muncul kesalahpahaman di kemudian hari.

Sebagai penulis, saya menilai insiden ini mencerminkan tantangan klasik di sektor wisata kuliner: kurangnya komunikasi dan sistem harga yang belum transparan.

Kejadian semacam ini mudah viral karena menyentuh dua hal sensitif, kepercayaan dan uang.

Namun, jika ditelusuri lebih dalam, masalahnya tidak hanya pada nominal tagihan, tetapi juga pada absennya sistem digitalisasi transaksi dan edukasi harga untuk wisatawan.

Pedagang lokal perlu didukung agar memiliki alat pencatat pajak resmi, sementara wisatawan juga mesti proaktif bertanya sebelum memesan.

Ketika kedua pihak memahami hak dan kewajibannya, kejadian seperti ini bisa dihindari. Labuan Bajo sebagai destinasi super prioritas selayaknya menjadi contoh wisata jujur dan profesional.

Karena itu, transparansi harga bukan sekadar etika, melainkan investasi untuk kepercayaan jangka panjang.

(Tribunnewsmaker.com/ Surya.co.id)

Sumber: Surya
Tags:
seafoodLabuan BajoNTTharga
Rekomendasi untuk Anda

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved