Kisah Dono Warkop DKI yang Idap Kanker, Buat Pertunjukan Dibayar Perangko, Rencana Umrah Kandas
Perjalanan hidup Dono Warkop yang meninggal dunia karena kanker. Sempat buat pertunjukan dibayar perangko. Keinginan Umrah tak terwujud.
Editor: ninda iswara
TRIBUNNEWSMAKER.COM - Grup lawak Warkop DKI cukup dikenal di era 80an.
Ketika memasuki masa liburan, film-film komedi Warkop DKI akan selalu menghiasi bioskop.
Di tahun 90-an, film-film Warkop DKI mulai sering ditayangkan di layar kaca.
Grup komedi legendaris ini digawangi oleh Doni, Kasino, dan Indro.
Namun ternyata Warkop DKI awalnya beranggotakan empat orang komedian.
Kini tersisa Indro Warkop DKI yang masih setia melestarikan grup lawak yang digawanginya.

Indro Warkop DKI melanjutkan perjuangan teman-temannya di dunia komedi.
Untuk membantu melestarikan, dibuatlah film Warkop DKI Reborn yang dibintangi oleh sederet aktor kawakan Tanah Air.
Dono Warkop DKI termasuk sosok yang begitu dikenang oleh Indro.
Kepergiannya setelah melawan penyakit kanker paru-paru yang dideritanya menyisakan duka mendalam di hati para sahabat.
Warkop DKI saat itu adalah simbol sebuah komedi cerdas yang memiliki kejelian menyentil isu-isu sosial yang sedang up to date.
Nah, hal itu terjadi ketika Warkop DKI sedang mencapai masa puncaknya.
Sayangnya setiap yang merasakan masa puncak, pasti pada saatnya akan berada di bawah juga.
Dan Warkop DKI telah mengalami hal itu beberapa kali.
Yang pertama adalah ketika Grup Lawak tersebut masih bernama Warung Kopi Prambors, salah satu personelnya, Nunu meninggal pada 1983.
Selanjutnya ketika telah mengubah namanya menjadi Warkop DKI, personel lainnya, Kasino meninggal pada 1997.
Kemudian dilanjutkan dengan salah satu anggotanya yakni Drs. H. Wahjoe Sardono, atau yang lebih akrab dikenal dengan Dono, meninggal dunia di usianya yang ke 50 tahun pada 2001.
Kesedihan akan meninggalnya Dono terekam jelas dalam artikel berjudul "Kanker Paru Renggut Nyawa Dono: Berpesan Agar Warkop Tetap Diteruskan" di Tabloid Nova edisi 723/XIV yang terbit pada 6 Januari 2002 berikut ini.
Hari Kematian Dono Warkop DKI
Siapa pun pasti tertawa melihat gaya maupun mimik Drs. H. Wahjoe Sardono (50) alias Dono Warkop saat melawak.
Namun salah satu tokoh lawak Indonesia ini kini sudah tiada.
Ia menghembuskan napas terakhir di RS St. Carolus, pukul 00.50 WIB, Minggu
(30/12/2001).
Diiringi hujan gerimis sejak pagi hari, jenazah diantar ratusan pelayat menuju tempat peristirahatan terakhirnya di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan, hari itu juga.
Pengantarnya amat banyak, dari rakyat jelata sampai artis-artis kondang seperti Slamet Raharjo, Niniek L. Karim, Doyok Sudarmadji, Taufik Savalas, Eko dan Akri Patrio, Ulfa, Miing, Didin, Mus Mulyadi, dan masih banyak lagi.
Sejumlah dosen UI juga tampak di antara para pelayat, seperti Prof. Selo Soemardjan, Prof. Juwono Soedarsono; dan sebagainya.
Maklum, Dono pemah mengajar sosiologi di almamaternya, FISIP UI.

Ia memang dikenal peduli pada masalah-masalah sosial dan politik hingga kerap diundang jadi pembicara, di samping sudah menulis 8 novel.
Almarhum meninggalkan tiga anak, Andika Ario Seno (21), Damar Canggih Wicaksono (15), dan Satrio Sarwo Trengginas (9).
Sedangkan istrinya, Titi Kusuma Wardani sudah lebih dulu meninggal dunia akibat kanker payudara pada 14 Agustus 1999.
Diminta Awasi Adik
Sampai akhir hayatnya, Dono tetap konsisten sebagai seniman.
Namun sejak sebulan terakhir, "Ayah absen syuting karena harus keluar masuk rumah sakit akibat sesak napas," ujar Ario, anak sulungnya yang mahasiswa D3 Periklanan.
Sesak napas, lanjut Ario, sudah dirasakan sejak dua bulan terakhir.
"Tapi baru bulan lalu Ayah berobat serius. Saat itu, kondisinya sudah parah. Sejak itu pula Ayah keluar masuk rumah sakit," ujar Ario.
Dikatakan Ario, ayahnya sama sekali tidak merokok ataupun minum alkohol.
Karena itu, ia sempat heran ketika dokter mengatakan Dono kena kanker paru-paru.
Kendati begitu, Ario teringat, "Setahun lalu pinggul Bapak juga ada kankernya. Memang sudah diangkat. Tapi mungkin saja telanjur menyebar dan menyerang paru-paru."
Banyak kenangan manis melekat di benak Ario dan adik-adiknya.
"Beliau selalu ingin menyenangkan kami bertiga, anak-anaknya. Apalagi sejak kepergian Mama. Perhatian Ayah pada kami makin bertambah," ujar Ario yang mendapat amanat dari ayahnya untuk mengawasi kedua adiknya.
Ditambahkan Ario, sosok ayahnya yang terkenal sebagai pelawak, juga terbawa sampai ke rumah.
"Di rumah juga dia suka melawak. Ada saja sikap Ayah yang membuat kami tertawa riang. Namun ada kalanya dia serius. Misalnya memberi wejangan yang baik bagi kami. Atau saat dia menggarap sesuatu di rumah."
Selain meninggalkan kenangan manis, Dono juga mempunyai keinginan yang belum terkabul.
"Semula Ayah sangat optimis penyakitnya bisa hilang. Katanya, kalau sudah sembuh akan umroh bersama tante-tante saya. Rencananya Februari tahun 2002. Ternyata Tuhan berkehendak lain," lanjut Ario dengan mata masih memerah.
Bayar Pakai Perangko
Niat melakukan umroh ke Tanah Suci juga sudah disampaikan Dono kepada Rani, salah satu adiknya.
"Saya setuju saja. Cuma saya ingin Mas Dono memulihkan kesehatannya dulu," ujar dosen UI dan ibu satu anak ini.
Menurut Rani, masih segudang niat yang diutarakan Dono kepadanya.
Antara lain, Dono ingin mendirikan semacam padepokan keluarga.
"Dia bilang, enak ya kalau semua bisa ngumpul. Enggak kayak sekarang yang terpencar-pencar. Mau ketemu saja susah," ujar Rani menirukan Dono.
Selain seribu keinginan tadi, lanjut Rani, tercetus pula kegelisahan dan kekhawatiran Dono.
Yaitu tentang nasib Ario, Damar, dan Satrio.
"Dia bilang, gimana ya, kalau saya pergi. Anak-anak masih pada sekolah," ujar Rani menirukan Dono.
Saat itu Rani minta agar Dono mengiklaskan ketiga anaknya.
"Saya bilang, Sudahlah, Mas. Diikhlaskan saja. Toh, semua persoalan pasti ada jalan keluarnya. Enggak usah dipikir. Kami adik-adikmu masih mampu untuk merawat mereka," ujar Rani sambil menyatakan rasa syukur karena Dono tidak sampai menderita terlalu lama.
Bakat Dono di bidang seni lawak, menurut Rani sudah terlihat sejak masih kecil.
"Mungkin turunan. Ibu kami dulu juga tukang canda, sangat humoris. Kalau ketemu di rumah itu isinya guyon melulu. Jarang sekali kami berantem. Sampai tetangga sering ngiri melihat kekompakan kami."

Sebagai anak lelaki satu-satunya, lanjut Rani, Dono tumbuh menjadi pria yang menjadi panutan dalam keluarga mereka.
"Namun kalau ingat masa kecil, wah dia itu nakal karena banyak di luar rumah. Sehingga sering dimarahi bapak kami."
Dono juga dikenal sudah kreatif sejak kecil.
Rani mencontohkan, suatu hari Dono menggelar pertunjukan "bisokop".
Dengan memakai film sungguhan milik ayahnya, Dono menyorotnya dengan lampu teplok.
Bayangannya ditangkap di layar kain.
"Kami diminta jadi penonton dengan membayar memakai perangko," kenang Rani.
Tak Yakin Tergantikan

Sahabat Dono yang paling terpukul adalah Indro.
Betapa tidak, sudah 26 tahun ia bersahabat dan bermitra dengan Dono sejak masih bergabung dalam grup lawak Warung Kopi Prambors.
Waktu itu anggotanya bukan hanya Dono, Kasino, dan Indro.
Ada beberapa personel lain termasuk Nanu yang meninggal tahun 1983.
Ketika jumlah personel tinggal tiga orang saja, grup ini mengubah namanya menjadi Warkop DKI, singkatan dari Dono, Kasino, dan Indro.
Anggota grup ini berkurang lagi ketika Kasino meninggal dunia tahun 1997.
Firasat tak enak sudah dirasakan Indro saat menjaga Dono di rumah sakit.
Ketika itu, Dono berpesan agar Indro meneruskan kelompok Warkop yang didirikan September 1973.
"Selama masih bisa diterima masyarakat, saya ikhlas dan rela meneruskan Warkop," janji Indro yang bergabung dengan Warkop tahun 1976.
Sedangkan Dono bergabung dengan Warkop sejak 1974.
"Saya masih ingat, sebelum menjadi anggota warkop, saya masih di radio Prambors. Suatu hari saya melihat Mas Dono siaran sendirian, lalu saya minta diizinkan membantu," kenang Indro yang ketika itu masih di SMA.
Selanjutnya, Kasino minta Indro bergabung di Warkop.
Kendati bertekad mempertahankan Warkop, Indro tak yakin bisa mendapatkan sosok-sosok yang bisa menggantikan rekan-rekannya.
"Saya enggak yakin bisa mencari orang untuk menggantikan tiga rekan terdahulu (Nanu, Kasino, dan Dono),' ujar Indro seraya menambahkan Warkop DKI telah menghasilkan 36 judul film layar lebar, 104 episode sinetron masing-masing 30 menit, serta 26 judul sinetron berdurasi 80 menit.
Beli Jamu ke Kalimantan
Isak tangis merebak saat pemakaman.
Terutama dari kalangan pelawak-pelawak muda yang selama ini banyak dibantu Warkop.
Salah satunya adalah Ulfa Dwiyanti.
"Mas Dono itu guru gue. Gue bisa begini karena Warkop," ujar Ulfa dengan mata sembap.
Mengaku jarang bertemu dengan Dono, bukan berarti tidak saling tahu kabar masing-masing.
"Setahu saya dia sakit, dan sakitnya itu bisa disembuhkan. Enggak tahunya dia telah pergi," ujar Ulfa.
Mengaku bisa melawak karena diajari Dono dan Kasino.
"Masih saya ingat di TVRI tahun 1991. Waktu itu mereka mengajari cara ngomong yang lucu. Pokoknya, banyak ilmu yang saya dapat dari mereka," lanjut Ulfa yang banyak belajar dari Warkop saat masih jadi penyiar di radio humor Suara Kejayaan (SK).

Tangis sedih juga muncul dari pelawak Taufik Savalas.
Pasalnya, Taufik baru saja datang dari Balikpapan.
"Mas Indro yang minta saya ke sana membelikan jamu-jamu dari Kalimantan untuk menyembuhkan Mas Dono. Saya sudah membawa pulang banyak, eh, ternyata sampai di sini Mas Dono sudah tiada," cerita Taufik sembari terisak-isak.
Wajar bila Taufik amat terpukul dengan kepergian Dono.
Sama seperti halnya Ulfa, Taufik juga "dibesarkan" oleh para personel Warkop saat bergabung di radio SK, Banyak ilmu tentang lawak dan juga pelajaran tentang hidup ditimbanya dari Warkop.
Ya, bukan hanya mereka yang kehilangan, tapi juga seluruh penggemar Dono.
Rasanya tak akan pernah ada lagi pelawak sepertinya. (TribunNewsmaker.com/*)
Sebagian artikel ini telah tayang di Suar.id dengan judul 3 Tahun Pernah Tidak Bicara dengan Teman Satu Grupnya, Pelawak Ini Akhirnya Kalah oleh Kanker Paru-paru padahal Tidak Pernah Ngerokok dan Minum Alkohol