Breaking News:

Cerita Nenek 70 Tahun Rela Naik Turun Bukit demi Tugas Sekolah Cucunya, Hidup dari Bantuan Tunai

Demi mengantar tugas sekolah cucunya, Mbah Suratinem rela naik turun bukit diusianya yang sudah renta.

Editor: ninda iswara
KOMPAS.COM/DANI JULIUS
Suratinem (70) naik turun gunung di Kalurahan Pendoworejo, Girimulyo, Kulon Progo, DI Yogyakarta. Ia rela jalan kaki sampai 6 km demi melaporkan tugas pekerjaan sekolah cucunya, sekaligus mengambil tugas berikutnya. 

TRIBUNNEWSMAKER.COM - Cerita pilu datang dari seorang nenek berusia 70 tahun dan juga cucunya.

Nenek bernama Suratinem (70) ini harus naik dan turun bukit demi tugas sekolah sang cucu.

Cucu nenek Surati yang masuk duduk di bangku sekolah dasar (SD) ini diketahui bernama Devi.

Berbekal sandal jahit, Mbah Surati menyusuri jalan naik dan turun di bukit.

Meski usianya sudah renta, langkahnya cukup cepat dan kokoh menapaki jalanan menuju sekolah cucunya.

Mbah Surati dan sang cucu diketahui tinggal di Pedukuhan Kalingiwa, Kelurahan Pendoworejo.

Kisah Pilu Indriana Tinggal di Kandang Ayam, Ingin Sekolah & Belikan Ibu Rumah, Kerap Diejek Teman

Kisah Cinta Sejati Pon Viral, Rela Keluar dari Pekerjaan Demi Rawat Istri yang Tumor Otak

Suratinem (70) naik turun gunung di Kalurahan Pendoworejo, Girimulyo, Kulon Progo, DI Yogyakarta. Ia rela jalan kaki sampai 6 km demi melaporkan tugas pekerjaan sekolah cucunya, sekaligus mengambil tugas berikutnya.
Suratinem (70) naik turun gunung di Kalurahan Pendoworejo, Girimulyo, Kulon Progo, DI Yogyakarta. Ia rela jalan kaki sampai 6 km demi melaporkan tugas pekerjaan sekolah cucunya, sekaligus mengambil tugas berikutnya. (KOMPAS.COM/DANI JULIUS)

Pedukuhan ini berada di lereng terjal Perbukitan Menoreh di Kapanewon Girimulyo, Kulon Progo, Yogyakarta.

Mbah Surati menyusuri bukit menuju SD Negeri Jetis di pedukuhan sebelah.

Jarak dari rumahnya menuju SD Negeri Jetis sekitar tiga kilometer.

Dia menyusur naik turun jalan yang mayoritas beraspal rusak.

Kanan dan kiri jalan yang dilalui banyak tumbuhan pohon jati lebat.

Jarang ditemui rumah sepanjang jalan karena tersembunyi di tebing atau jurang.

Di kejauhan terlihat alur sungai kering dan sawah bertingkat.

"Kadang pergi pagi jam 07.00WIB. Riyin saben dinten (dulu setiap hari). Sakniki mboten (sekarang tidak), kadang Selasa kadang Jumat,” kata Mbah Surati, Kamis (13/8/2020).

Surati menempuh sekitar setengah jam perjalanan sampai SDN Jetis di Jalan Turusan.

Semua itu demi Devi Noviyanti (10) cucunya yang masih kelas 4 di SDN Jetis ini.

Mbah Surati datang ke sekolah sambil membawa sebuah buku tulis berisi hasil belajar di rumah Devi dalam beberapa hari belakangan.

Nenek itu datang ke sekolah untuk menyerahkan buku itu.

Sebaliknya, guru yang menerima buku itu menyerahkan beberapa lembar tugas baru, matematika, dan dua plastik polybag beserta dua bibit cabai siap tanam.

Itu tugas lanjutan untuk Devi selama belajar di rumah.

Kepala Sekolah SDN Jetis, Siti Kamilah, menceritakan Mbah Surati memang rajin ke sekolah selama Pandemi Covid-19.

Dia pulang pergi jalan kaki untuk menyerahkan tugas garapan Devi maupun mengambil tugas selanjutnya untuk cucunya itu.

Sekolah menjadwalkan pengambilan dan pengembalian tugas setiap Kamis untuk mereka yang tidak bisa mengikuti belajar secara daring.

“Beliau selalu datang ke sini selama BDR (belajar dari rumah), untuk mengambil tugas secara manual atau offline karena (cucu) beliau belum mampu mengikuti pengajaran secara daring karena kendala belum memiliki Android,” kata Siti.

"Hari ini tugas matematika dan mengambil tugas keterampilan menanam bibit cabai,” sambungnya.

Kisah Pilu Gadis Penyandang Disabilitas di Lampung, Trauma Setelah Dicabuli Tetangga & Hamil 4 Bulan

Kisah Nenek Penyapu Jalan Nabung 15 Tahun Demi Beli Sapi & Kambing Kurban : Akhirat Lebih Penting

Pembelajaran siswa terhambat Android kembali terungkap. Kali ini dirasakan warga pada Pegunungan Menoreh.

Di sana, sinyal hidup mati. Pulang pergi ke sekolah tentu bikin jerih karena medannya menyulitkan.

Keluarga miskin kembali menjadi yang paling merasakan.

Mengatasi hambatan itu, Surati harus mengambil sendiri pelajaran sekolah cucunya.

Namun, persoalan belum selesai dengan hanya mengambil atau mengembalikan tugas.

Devi masih terkendala pembimbing belajar.

Dia kadang terpaksa meminjam handphone di rumah tetangga ketika mengerjakan tugas, atau meminta petunjuk kerabat yang lebih pintar.

Bila tidak bisa maka dia menunggu kunjungan guru sepekan ke depan.

“Anaknya pinter. Nulise banget (menulisnya cepat). Kalau tidak bisa ya usaha sendiri,” kata Surati.

Mbah Surati mengharapkan, dengan semua upaya ini maka cucunya bisa terus menjalani pendidikan yang baik semasa pandemi demi menggapai cita-citanya.

"Biar bisa jadi dokter seperti yang dia mau," kata Surati.

Penerima PKH

Devi gadis mungil berparas cantik dengan alis tebal. Ia sebenarnya bungsu tiga bersaudara.

Ia terpisah dari ayahnya dan kedua saudara kandungnya, sejak Sugiyanti, ibu kandungnya, meninggal dunia.

Ketika itu Devi masih berumur tiga bulan.

Surati menceritakan, Devi tidak lagi mendapat kasih sayang utuh kedua orangtua.

Devi dirawat Surati, sekaligus menemani hari tuanya.

Devi juga menerima perhatian tetangga yang ikut prihatin, bahkan sampai sekarang.

Banyak bantuan datang setiap saat, di tetangga yang dermawan, kelompok pengajian hingga bantuan langsung dari kepala sekolahnya.

Suratinem dan Devi hidup bersama di rumah Limasan Jawa dengan dinding anyaman bambu. Lantainya tanah.

Hampir semua sudut rumah itu sangat gelap dan dingin sekalipun siang terang benderang.

Devi harus menyalakan lampu bila ingin belajar.

Kisah Marno Mantan Kondektur Bus yang Akhirnya Pilih Tinggal di Hutan Gara-gara Kendaraannya Mogok

Dulu Pilot Kini Jadi Kurir Makanan Karena Corona, Pria Ini Bagikan Kisah Hidupnya Hingga Viral

“Suratinem ini hidup memprihatinkan," kata Basiran, Dukuh (kepala dusun) Kalingiwa.

Basiran mengungkap ketidakberdayaan pencari kayu bakar ini.

Uang sehari-hari yang diperoleh hanya dari bantuan tunai Program Keluarga Harapan (PKH) Rp 300.000 tiap bulan.

"Sehari-hari yang penting bisa makan sudah cukup," kata Basiran.

Di tengah semua himpitan itu, kata Basiran, beruntung ada saja dermawan yang membantu.

Setidaknya, berupa sayur. Sementara lauk kerap datang saat Hari Raya.

Kepala Sekolah SD Jetis, Siti mengungkapkan, ada dua siswa lain yang mengalami hal serupa, selain Devi.

Mereka hidup di medan sulit Menoreh. Sekolah memberi perhatian serius mereka, utamanya di masa Pandemi Covid-19.

Mulai dari guru yang beramai berkunjung untuk mengajar.

“Biasanya home visit dengan program kami dua minggu sekali. Tapi sementara ini ditunda sebentar,” kata Siti, Kepala Sekolah SD Jetis.

Namun, bantuan sekolah tidak berhenti.

Sekolah terus mengupayakan beasiswa untuk Devi dan anak-anak dari keluarga miskin serupa yang dirasa hidup sulit.

“Sebagai keluarga tidak mampu, kami usulkan beasiswa, supaya bisa tercover oleh Baznas. Alhamdulillah, kalau Devi ini banyak bantuan bagi dia,” kata Siti. (TribunNewsmaker.com/*)

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Nenek 70 Tahun Rela Naik Turun Bukit demi Tugas Sekolah Cucunya

dan di Tribunnews.com Demi Tugas Sekolah Cucunya, Nenek 70 Tahun Rela Naik Turun Bukit, Hidup dari Bantuan Tunai

Sumber: Kompas.com
Tags:
Kulon ProgoYogyakartanenek
Berita Terkait
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved