Jakob Oetama Meninggal Dunia
POPULER - Saat-saat Terakhir Jakob Oetama Sebelum Meninggal Dunia, Sempat Kritis & Koma 3 Hari
Jakob Oetama meninggal dunia, sempat mengalami koma dan kritis sejak Minggu 6 September 2020
Penulis: Talitha Desena Darenti
Editor: Listusista Anggeng Rasmi
TRIBUNNEWSMAKER.COM - Pendiri Kompas Gramedia sekaligus Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama meninggal dunia.
Jakob Oetama meninggal pada Rabu, 9 September 2020 pukul 13:05 WIB.
Almarhum menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading.
Jakob Oetama tutup usia dalam usia 88 tahun.
Sebelum wafat, almarhum sempat mengalami koma atau kritis sejak Minggu (6/9/2020) sore.
Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Komunikasi Kompas Gramedia Rusdi Amral.
• Obituari Jakob Oetama, Kebimbangan Jadi Guru atau Wartawan hingga Asal Usul Nama Kompas
• PROFIL LENGKAP Jakob Oetama Pendiri Kompas Gramedia, dari Guru SMP Menjadi Tokoh Pers Indonesia

"Bapak sudah mengalami koma atau kritis sejak Minggu sore."
"Rupanya Allah lebih senang memanggil beliau sehingga akhirnya pukul 13.05, Bapak berpulang," ujarnya dalam tayangan di Kompas TV, Rabu, 9 September 2020.
Jakob Oetama sendiri sudah dirawat sejak tanggal 22 Agustus 2020.
Sejak awal masuk RS Kelapa Gading, Jakob Oetama berada dalam kondisi kritis.
“Bapak pada saat 22 Agustus dirawat di kami. Pada awal kondisi kritis dan lemah. Kita lakukan perawatan maksimal,” kata Ronald
Dokter Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Felix Prabowo Salim mengatakan Jakob Oetama mengalami gangguan multiorgan.
Kondisinya semakin buruk karena faktor usia dan penyakit komorbid
“Selama perawatan sempat sebenernya naik turun, di mana selama perawatan hampir lebih dari dua minggu sempat perbaikan dan terjadi penurunan.
Hanya pada saat-saat terakhir karena faktor usia dan kondisi semakin memburuk akhirnya beliau meninggal,” ujar Felix.
Rusdi kembali menuturkan, setelah jenazah dibersihkan dan dimandikan di rumah sakit, akan dibawa ke rumah duka di Jalan Sriwijaya 40, Kebayoran Baru, Jakarta.
Setelah melakukan ibadah misa, jenazah Jakob Oetama akan disemayamkan di Gedung Kompas Gramedia, Jalan Palmerah Selatan, Jakarta.
"Ini untuk memberikan kesempatan relasi, keluarga, karyawan, hingga rekan-rekan almarhum.
Yang sudah purnakarya membangun dari Intisari hingga Harian Kompas sampai sekarang.
Diberikan kesempatan untuk penghormatan terakhir untuk Bapak," ujar Rusdi.
Asal mula nama Harian Kompas
Hari ini, Minggu (28/6/2020), Harian Kompas tepat berusia 55 tahun, terhitung sejak pertama kali terbit pada 28 Juni 1965 silam.
Usia 55 tahun bukanlah angka yang singkat dalam sebuah perjalanan waktu. Lebih dari separuh abad Harian Kompas turut mengawal perkembangan yang terjadi republik ini.
Berbicara mengenai nama "Kompas", ada peran besar Presiden RI pertama Soekarno, di balik pemberian nama tersebut.
Dikutip dari buku Syukur Tiada Akhir, Jejak Langkah Jakob Oetama (2011), kehadiran Kompas berawal dari situasi politik tegang yang terpolarisasi kala itu.
Setelah Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 terbit, ada tiga kekuatan politik besar yang muncul.
Pertama, Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Dekrit Presiden menyebabkan konsolidasi kekuasaan dan politik terpusat kepada Bung Karno, yang menjalankan praktik demokrasi terpimpin.
Kedua, adalah Partai Komunis Indonesia yang merapat pada Bung Karno. PKI juga memiliki sejumlah media yang menjadi corong partai dan menyebarkan pemikirannya secara masif.
Dalam beberapa hal, pemikiran itu dinilai cenderung membelenggu masuknya informasi dari luar.
Ketiga, adalah kekuatan ABRI yang berusaha meredam kekuatan politik PKI. ABRI berusaha menjalin kerja sama dengan organisasi masyarakat dan politik yang non atau anti-komunis.
Pada April 1965, Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Achmad Yani mengusulkan kepada mantan Menteri Perkebunan Frans Seda agar mendirikan surat kabar non-partai untuk mengimbangi hegemoni surat kabar partisan.
Frans Seda yang juga merupakan tokoh katolik kemudian menemui Ketua Umum Partai Katolik Indonesia Ignatius Joseph Kasimo untuk merealisasikan gagasan tersebut.
PK Ojong dan Jakob Oetama
Duo Jakob Oetama dan Petrus Kanisius (PK) Ojong yang sebelumnya telah mendirikan majalah Intisari pada 1963 pun dilibatkan.
Pelibatan ini atas dasar keduanya memiliki pengalaman dalam memimpin surat kabar.
Dilansir dari laman Korporasi.Kompas.id, Jakob Oetama sebelumnya merupakan redaktur mingguan Penabur, sedangkan PK Ojong adalah pemimpin redaksi mingguan Star Weekly.
Namun, rencana pelibatan itu tidak serta merta diterima begitu saja oleh keduanya.
"Kami berdua sebenarnya enggan menerima permintaan menerbitkan surat kabar Kompas. Lingkungan politik, ekonomi dan infrastruktur pada masa itu tidak menunjangnya," tulis Jakob dalam Tajuk Rencana Kompas yang terbit pada 2 Juni 1980 lalu.

Hal itu tidak terlepas dari pandangan politik keduanya yang menolak belenggu pemerintahan Soekarno terhadap masuknya informasi dari luar.
Lahirnya majalan Intisari pun dimaksudkan untuk mendobrak politik isolasi yang dilakukan Soekarno kala itu.
Namun pada akhirnya Jakob dan Ojong sepakat dengan persyaratan. Harian yang hendak terbit bukanlah corong partai, berdiri di atas semua golongan, bersifat umum dan berdasarkan kemajemukan Indonesia.
Kesepakatan itu dicapai dan akhirnya Yayasan Bentara Rakyat didirikan.
Nama tersebut terinspirasi dari majalah Bentara yang populer di Flores.
Di balik nama Kompas
Setelah ide disepakati, tahap berikutnya adalah proses mendapatkan izin.
Salah satu syarat yang harus dipenuhi yaitu bkti adanya pelanggan, setidaknya berdasarkan 3.000 tanda tangan.
Berkat bantuan Frans Seda, persyaratan itu dipenuhi.
Namun, Frans Seda yang saat itu merupakan anggota kabinet, akhirnya melaporkan rencana itu kepada Soekarno.
Saat itu, nama harian yang hendak dipublikasikan adalah Bentara Rakyat.
Soekarno tak keberatan. Bahkan ia memberikan nama lain yang kelak menjadikan harian Kompas sebagai koran terbesar di Indonesia hingga kini.
"Aku akan memberi nama yang lebih bagus.. 'Kompas'. Tahu toh apa itu kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan hutan rimba.." ujar Soekarno.
Ketika dummy dengan kop Bentara Rakyat siap dicetak, usulan Bung Karno pun disampaikan dan diterima.
Wartawan Kompas saat itu, Edward Linggar, langsung menyiapkan logo dalam semalam.
Logo disetujui Jakob dan Ojong, dan dipakai hingga kini.
Kendati, logo yang ada saat ini sudah mengalami perubahan kecil, terutama dalam hal tebal dan tipisnya huruf. (TribunNewsmaker.com/*/Talitha)
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Pendiri Kompas Gramedia Jacob Oetama Meninggal Dunia dan Bung Karno, Sosok di Balik Nama Harian Kompas...