Deretan Usul Pakar Hukum untuk Perbaiki Kesalahan pada Rumusan UU Cipta Kerja, Tak Bisa Sembarangan
Kesalahan rumusan misalnya terjadi pada Pasal 6 di Bab Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha.
Editor: Listusista Anggeng Rasmi
TRIBUNNEWSMAKER.COM - Terdapat sejumlah kesalahan dalam rumusan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Kesalahan tersebut menjadi sorotan masyarakat.
Sejumlah pakar hukum juga menyoroti terkait hal ini.
Mereka menyebut kesalahan rumusan atau pengetikan pada UU Cipta Kerja tidak bisa dilakukan secara sembarangan.
Kesalahan rumusan misalnya terjadi pada Pasal 6 di Bab Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha.
Pakar hukum pun mencoba menguraikan kesalahan dalam pasal tersebut.
Baca juga: Deretan Kelalaian Ini Buat Proses UU Cipta Kerja Dinilai Ugal-ugalan, Banyak Kekeliruan Pengetikan
Baca juga: Jubir Presiden Jokowi Pastikan UU Cipta Kerja Semakin Membuka Banyak Lapangan Pekerjaan

Di dalam pasal 6 mengatur eningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf a meliputi (a) penerapan perizinan berusaha berbasis risiko; (b) penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha; (c) penyederhanaan perizinan berusaha sektor; dan (d) penyederhanaan persyaratan investasi.
Kendati demikian, rujukan ke Pasal 5 ayat (1) tidak jelas karena dalam UU Cipta Kerja Pasal 5 tidak memiliki ayat.
Pasal 5 hanya hanya menyebutkan, ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan, kesalahan pengetikan tersebut tidak membawa pengaruh pada norma yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
Oleh karena itu, menurut Yusril, pemerintah dan DPR dapat melakukan rapat guna memperbaiki kesalahan pengetikan tersebut.
"Presiden (bisa diwakili Menko Polhukam, Menkumham, atau Mensesneg) dan Pimpinan DPR dapat mengadakan rapat memperbaiki salah ketik seperti itu," ujar Yusril.
Yusril mengatakan, setelah naskah UU Cipta Kerja diperbaiki, pemerintah harus mengumumkan kembali dalam Lembaran Negara untuk dijadikan rujukan resmi.
"Presiden tidak perlu menandatangani ulang naskah undang-undang yang sudah diperbaiki salah ketiknya itu," ucap Yusril.
Executive, legislative dan judicial review
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari juga mengungkap beberapa cara yang dapat ditempuh untuk memperbaiki kesalahan rumusan.
Salah satunya dengan executive review, artinya presiden harus menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang mengoreksi pasal bermasalah.
"Kalau perppu yang berupaya mengoreksi pasal yang salah itu ya tentu bisa saja, tapi kan untuk sekelas perppu masa cuma memperbaiki satu pasal, perbaiki juga masalah yang lebih besar di UU itu," kata Feri kepada Kompas.com, Rabu (4/11/2020).
Jika legislative review yang ditempuh, maka lembaga legislatif, dalam hal ini DPR, mencabut UU Cipta Kerja atau menerbitkan undang-undang yang membatalkan berlakunya UU tersebut.
Sementara, mekanisme judicial review dilakukan melalui lembaga peradilan yakni Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), ataupun Pengadilan Tata UsahaNegara (PTUN).
Ia mengatakan, sebenarnya terdapat mekanisme perbaikan salah ketik yang hanya berdasar kesepakatan antara pemerintah dan DPR saja tanpa melalui executive, legislative, atau judicial review.
Tetapi, mekanisme itu ditempuh hanya jika kesalahan pengetikan terjadi di satu atau dua huruf saja atau tipo.
Tak bisa sembarangan
Pengamat Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan kesalahan rumusan yang terdapat dalam UU Cipta Kerja tidak bisa diperbaiki secara sembarangan.
Menurut Bivitri, kesalahan rumusan pada pasal-pasal UU Cipta Kerja akan berdampak hukum, yakni pasal-pasal tersebut tidak bisa dilaksanakan.
"Terhadap kesalahan di Pasal 6 dan Pasal 175 itu tidak bisa lagi dilakukan perbaikan secara sembarangan seperti yang terjadi sebelum UU ini ditandatangani, yang itu pun sudah salah," kata Bivitri saat dihubungi, Selasa (3/11/2020).
Ia menjelaskan, suatu pasal tidak boleh diterapkan hanya berdasarkan keinginan pihak yang ingin menerapkan pasal, tanpa tertulis di dalam undang-undang yang dirujuk.
Oleh sebab itu, pasal yang sudah diketahui salah tidak bisa dilaksanakan.
Bivitri mendorong pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk memberikan kepastian hukum agar pasal-pasal tersebut bisa dilaksanakan.
"Kalau pemerintah mau membuat ada kepastian hukum agar pasal-pasal itu bisa dilaksanakan, bisa keluarkan Perppu. Karena UU ini tidak bisa diubah begitu saja," ucap Bivitri.
MK Berpotensi Batalkan UU Cipta Kerja
Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra meminta pemerintah dan DPR berhati-hati dalam menghadapi sidang gugatan uji materi atau judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebab, menurut Yusril, sebelum ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 2 November 2020, sudah banyak pihak-pihak yang mendaftarkan permohonan pengujian UU Cipta Kerja ini ke MK.
Ia mengatakan, keinginan elemen masyarakat untuk menguji UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi baik uji formil maupun materiil patut didukung.
"Agar MK secara obyektif dapat memeriksa dan memutuskan apakah secara formil proses pembentukan UU Cipta Kerja ini menabrak prosedur pembentukan undang-undang termasuk melakukan amanden terhadap undang-undang atau tidak," kata Yusril dalam keterangan tertulis, Rabu (4/11/2020).
Yusril mengatakan, omnibus law adalah sebuah undang-undang yang mencakup berbagai pengaturan yang saling berkaitan, langsung maupun tidak langsung.
Oleh karenanya, menurut Yusril, dalam proses pembentukannya sangat mungkin mengubah undang-undang yang ada, di samping memberikan pengaturan baru terhadap sesuatu masalah.
"Dalam hal ini, MK akan menggunakan norma-norma dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 15 Tahun 2019 untuk menilainya," ujarnya.
Yusril mengatakan, debat terkait kesesuaian prosedur pembentukan undang-undang tersebut akan sangat panjang dari berbagai sudut pandang.
Jika menggunakan landasan pemikiran yang kaku, lanjut Yusril, akan mudah mengatakan prosedur perubahan undang-undang melalui omnibus law tidak sejalan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011.
Berdasarkan hal tersebut, ia mengaku akan menyimak argumentasi pemerintah dan DPR di Mahkamah Konstitusi dalam menjawab persoalan prosedur.
Yusril mengatakan, jika pemerintah dan DPR tidak berhati-hati dan tidak argumentatif dalam mempertahankan prosedur pembentukan undang-undang melalui omnibus law, MK akan mudah membatalkan UU sapu jagat tersebut
"MK bisa membatalkan UU Cipta Kerja ini secara keseluruhan, tanpa mempersoalkan lagi apakah materi yang diatur oleh undang-undang ini bertentangan atau tidak dengan norma-norma UUD 1945," ucapnya.
Lebih lanjut, Yusril mengatakan, selain uji formil terkait prosedur pembentukan UU Cipta Kerja, uji materiil akan terkait dengan pengujian substansi norma yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja terhadap norma konstitusi di dalam UUD 1945.
"Kita tentu ingin menyimak apa argumen para pemohon dan apa pula argumen yang disampaikan pemerintah dan DPR dalam menanggapi permohonan uji formil dan materiil tersebut," kata dia. (Tribunnewsmaker/*)
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kesalahan Rumusan UU Cipta Kerja Tak Bisa Diperbaiki Sembarangan, Ini Sejumlah Usul Pakar Hukum" dan "MK Berpotensi Batalkan UU Cipta Kerja, Yusril Minta Pemerintah-DPR Hati-hati Hadapi Uji Materi"
dan di Tribunnews Perbaiki Kesalahan Rumusan UU Cipta Kerja Tak Bisa Sembarangan, Ini Sejumlah Usul dari Pakar Hukum