GETIR Warga Palestina saat Gaza Selatan Jadi Target Pembantaian Baru Israel, RS Dikepung Tank
Inilah siasat Israel melancarkan serangan brutal ke warga Palestina, awalnya disuruh ngungsi ke selatan, kini malah dijadikan target serangan terbaru.
Editor: Dika Pradana
TRIBUNNEWSMAKER.COM - Setelah pemerintah Israel memerintahkan warga Palestina untuk mengungsi ke wilayah Gaza Selatan, kini tentara Israel atau IDF justru menjadikan Gaza Selatan sebagai target serangan terbaru.
Rumah Sakit (RS) dan sekolah pun menjadi target serangan dari tentara Israel secara membabi buta.
Sebuah rumah sakit di Gaza yang kini menjadi salah satu rumah sakit terakhir yang masih berfungsi mulai dikepung oleh tank-tank Israel.

Warga sipil Palestina pun panik ketika mendapati kenyataan pilu penyerangan tersebut.
Terbaru, kini militer Israel telah melakukan pembantaian baru di Khan Younis dengan menembakkan rudal yang menghantam sebuah sekolah yang menampung para pengungsi dan menewaskan sedikitnya 30 orang.
Tank-tank Israel juga mengepung rumah sakit Kamal Adwan, salah satu rumah sakit terakhir yang berfungsi di utara wilayah Palestina yang terkepung.
Baca juga: NGERI! Kekuatan Israel Luluh Lantakkan Gaza dalam Sekejap Pakai AI:Seberapa Bahaya-nya untuk Perang?
Baca juga: Amukan Hizbullah Hancurkan 2 Markas Israel sebabkan Ledakan Dahsyat, IDF Lagsung Kalang Kabut: Panik
Serangan terhadap Khan Younis, kota utama Gaza selatan, menunjukkan fase baru dan berdarah dalam perang Israel.
Padahal Israel sebelumnya memerintahkan warga sipil di bagian utara Jalur Gaza untuk mengungsi ke selatan wilayah tersebut.
Namun kini melakukan serangan besar-besaran terhadap mereka di sana.
Sirine ambulans pun mulai meraung di sejumlah kawasan di Gaza Selatan.
Ambulans tersebut membawa sejumlah korban sipil yang kritis imbas dari serbuan IDF.

Ambulans dan mobil sipil yang berfungsi melaju ke Rumah Sakit Nasser di Khan Younis sepanjang malam, membawa orang-orang yang terluka ke satu-satunya rumah sakit yang berfungsi di kota tersebut yang merupakan rumah bagi lebih dari 400.000 warga Palestina sebelum perang.
Para saksi melaporkan pelanggaran militer yang agresif, termasuk penggunaan peluru tank dan buldoser di wilayah sipil.
Koordinator kemanusiaan PBB untuk wilayah Palestina, Lynn Hastings, mengatakan pada hari Senin bahwa skenario yang lebih mengerikan akan terjadi di Gaza.
Dalam momen tersebut pengiriman bantuan kemanusiaan mungkin akan terhenti total.
“Kondisi yang dibutuhkan untuk menyalurkan bantuan kepada masyarakat Gaza tidak ada,” tukasnya.
Baca juga: Gaza Memanas! Pasukan Martir Omar Al-Qassem Turun Gunung, Sirine Berdengung di Perumahan Israel

Kini nasib warga di Gaza semakin memprihatinkan dengan adanya serangan terbaru oleh IDF.
Serangan demi serangan terus menghantui sejumlah warga Gaza.
Tampaknya Israel benar-benar mengabaikan seruan damai dari Presiden Amerika Serikat, Joe Biden.
Sejumlah kecaman yang diserukan oleh Joe Biden lagaknya tidak begitu mempengaruhi ambisi Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.
Hingga kini sejumlah negara dunia mulai mengecam dan mengutuk tindakan brutal dari IDF.
Seberapa Bahayanya Teknologi AI untuk Perang Israel vs Hamas?
Menurut laporan Al Jazeera, Israel memiliki sebuah cabang militer bernama Sigma yang didedikasikan untuk mengembangkan dan menggunakan AI untuk serangan.
Mereka bahkan menyebut perang 2021 dengan Hamas sebagai perang kecerdasan buatan pertama.
Letnan Kolonel Nurit Cohen yang memimpin proyek ini pada 2017 mengatakan Sigma bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi IDF.
Sigma mengembangkan teknologi dan mencari cara untuk memberikan dampak yang nyata.
IDF percaya AI bakal memberikan dampak yang lebih besar pada kegiatan operasional mereka. Menurutnya ada tiga tahap AI yang digunakan IDF.
"Ada AI deskriptif, di mana komputer dapat memahami konteks dan mengidentifikasi serta mengklasifikasikan data. Ada AI prediktif, di mana komputer kemudian memprediksi dampak dari data tersebut." ujar Cohen.

"Terakhir, ada AI perspektif, di mana komputer dapat membuat pilihan cerdas berdasarkan prediksinya. Saat ini, kami telah menguasai tahap pertama, dan sedang mengerjakan AI yang lebih canggih," kata Cohen.
IDF mengumumkan mereka telah menanamkan kecerdasan buatan ke dalam operasi-operasi yang mematikan. Seperti yang dilaporkan Bloomberg pada 15 Juli, awal tahun ini, IDF telah mulai "menggunakan kecerdasan buatan untuk memilih target serangan udara dan mengatur logistik masa perang."
Para pejabat Israel mengatakan pada saat itu bahwa IDF menggunakan sistem rekomendasi AI untuk memilih target untuk pengeboman udara, dan model lain yang kemudian akan digunakan untuk mengatur serangan berikutnya dengan cepat.
IDF menyebut sistem kedua ini sebagai Fire Factory, dan, menurut Bloomberg, sistem ini menggunakan data tentang target yang disetujui militer untuk menghitung muatan amunisi, memprioritaskan dan menugaskan ribuan target ke pesawat terbang dan pesawat tak berawak, dan mengusulkan jadwal.
Israel mengatakan keputusan akhir untuk meluncurkan serangan selalu diambil oleh manusia.
Namun, ketika perang terjadi dalam skala besar, masih mungkinkah manusia melakukan pengamatan secara cermat?
"Bahkan ketika ada manusia yang meninjau keputusan AI, itu hanya membutuhkan waktu beberapa menit dan kami tidak begitu yakin seberapa banyak uji tuntas yang dilakukan orang-orang ini sebelum menyetujui keputusan yang dibuat AI," kata Anwar Mhajne, Asisten Profesor di Stonehill College Boston.
"Ada juga kekhawatiran bahwa ketergantungan pada sistem AI dapat menciptakan rasa percaya diri yang salah di mana Anda seperti, oke, jadi AI membuat keputusan ini dan mengumpulkan data, jadi saya akan segera menyetujuinya dan target tersebut dilegitimasi berdasarkan data yang dikumpulkan oleh AI," lanjutnya.
Scharre mengaku tidak mengetahui rincian sistem spesifik yang mungkin digunakan IDF, tetapi AI dan otomatisasi yang membantu dalam siklus penargetan mungkin akan digunakan dalam skenario seperti perburuan Israel terhadap personel dan material Hamas di Gaza. Penggunaan AI di medan perang berkembang dengan cepat, katanya, tetapi membawa risiko yang signifikan.
"Setiap AI yang terlibat dalam keputusan penargetan, risiko utamanya adalah Anda menyerang target yang salah," kata Scharre, mengutip Los Angeles Times.
"Ini bisa menyebabkan korban sipil atau menyerang target yang bersahabat dan menyebabkan pembunuhan," lanjutnya.

Selain itu, sistem AI apa pun yang berusaha mengotomatiskan dan mempercepat pemilihan target meningkatkan kemungkinan kesalahan yang dibuat dalam prosesnya akan lebih sulit untuk dilihat.
Jika militer merahasiakan cara kerja sistem AI mereka, tidak ada cara untuk menilai jenis kesalahan yang mereka buat.
"Saya pikir militer harus lebih transparan dalam cara mereka menilai atau melakukan pendekatan terhadap AI," ungkap Scharre.
"Salah satu hal yang telah kita lihat dalam beberapa tahun terakhir di Libya atau Ukraina adalah zona abu-abu. Akan ada tuduhan bahwa AI digunakan, tetapi algoritme atau data pelatihannya sulit untuk diungkap, sehingga menilai apa yang dilakukan oleh militer jadi tantangan." lanjutnya.
Bahkan dengan kesalahan yang tertanam dalam kode pembunuhan itu, AI sementara itu dapat memberikan lapisan kredibilitas pada target yang mungkin tidak dapat diterima oleh operator pangkat dan jabatan.
Artikel ini diolah dari Serambinews.com
Sumber: Serambi Indonesia
Gebrakan Baru Donald Trump, Segera Rancang Perdamaian di Gaza, Sebut Israel Bisa Angkat Kaki |
![]() |
---|
7 Ucapan Prabowo yang Banjir Tepuk-tangan di Sidang Umum PBB, Tamparan Keras Buat Kesombongan Trump |
![]() |
---|
'Kami Diperlakukan Lebih Rendah dari Anjing!' Pidato Prabowo Getarkan Sidang Umum PBB, Semua Terdiam |
![]() |
---|
Qatar Bersiap Balas Israel, Emir Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani Bersumpah Akan Lawan Netanyahu |
![]() |
---|
7 Fakta Baru Penembakan Charlie Kirk, Tyler Robinson Diminta Ayah Serahkan Diri, Pesan di Amunisi |
![]() |
---|