Mahfud mengatakan, pasal hukuman mati bisa diterapkan apabila tindak pidana korupsi yang dilakukan benar-benar dilakukan dalam keadaan tertentu, sebagaimana frasa dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Nomor 31 1999.
Menurut Mahfud, keadaan tertentu berdasar UU, misalnya negara dalam keadaan bahaya.
Kemudian, terjadi bencana alam nasional, hingga negara dalam keadaan krisis ekonomi dan krisis moneter.
Adapun dalam kasus yang menimpa Juliari, ia melakukan korupsi ketika status Covid-19 sebagai bencana non-alam, bukan bencana alam nasional.
Akan tetapi, ancaman hukum mati itu bisa tetap dikenakan, hal itu tergantung ahli dalam menafsirkan antara bencana non-alam dan bencana alam nasional.
"Bisa (berkembang jadi hukuman mati), tinggal mencari ahli apakah bencana alam nasional ini lebih kecil dibandingkan dengan bencana Covid-19 yang sudah ditetapkan juga oleh negara berdasarkan Perpres," kata dia.
"Kalau secara ilmiah itu bisa ditemukan, tentu tuntutan bisa dilakukan ke situ juga, dakwan dan tuntutannya," ucap Mahfud.
Baca juga: Selain Juliari, 2 Mensos Ini Juga Pernah Ditangkap KPK karena Korupsi, Ada yang Divonis 1,8 Tahun
Baca juga: Juliari Tersangka, Jokowi dan Sri Mulyani Pernah Beri Peringatan untuk Pelaku Korupsi Dana Covid-19
Tidak tepat
Sementara itu, Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum UGM Zaenur Rohman menilai, wacana penerapan pidana mati dalam kasus dugaan suap yang menjerat Juliari tidak pada tempatnya.
Ia mengatakan, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang mengatur soal ancaman hukuman mati.
Namun, kasus yang melibatkan politisi PDI-P itu, menurut Zaenur, tidak termasuk dalam bentuk pidana korupsi yang dimaksud pada Pasal 2 Ayat (2) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.
Zaenur menuturkan, pidana korupsi yang dapat disangkakan dengan Pasal 2 Ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ialah pidana yang merugikan keuangan negara secara langsung seperti penggelembungan anggaran, penggelapan uang negara, dan sejenisnya.
Pasal hukuman mati tak bisa disangkakan lantaran dalam dalam kasus Juliari Batubara tergolong kasus suap dan tidak menimbulkan kerugian negara secara langsung.
Karena itu, ia menyarankan KPK memaksimalkan penggunaan Pasal 11 dan 12 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang lebih relevan dalam menangani kasus suap.
Zaenur menyarankan KPK menerapkan ancaman hukuman maksimal, yakni seumur hidup, terhadap Juliari.