Tapi ya itulah, terjadi miss komunikasi," ucap dia.
Hal senada disampaikan Epidemiolog Indonesia dan peneliti pandemi dari Griffith University Australia, Dicky Budiman.
Menurut Dicky, pemilihan para tokoh tersebut seharusnya menggunakan data ilmiah yang melibatkan para ahli pandemi.
"Jadi pemilihan orang yang menjadi simbol kampanye itu ya harus didasarkan pada data ilmiah dan empiris untuk dalam kaitan wabah.
Kalau tidak, ya kacau," kata Dicky saat dihubungi Kompas.com, Kamis (14/1/2021).
Ia berpendapat, apabila kriteria pemilihan influencer atau tokoh tersebut tidak berdasarkan data ilmiah, maka akan menimbulkan dampak kontradiktif.
Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa ada data riset untuk memilih influencer yang digunakan dalam kampanye vaksin.
Dicky menyebutkan, tempat di mana ia tinggal saat ini yaitu Australia telah melakukannya.
"Riset itu menyimpulkan hanya ada dua untuk kaitan vaksin Covid-19 saat ini.
Hanya dua public figure yang bisa jadi semacam public campaign untuk kaitannya dengan vaksinasi," kata dia.
Adapun dua tokoh tersebut di antaranya adalah tokoh politik atau politisi, dan tokoh kesehatan.
Tokoh politik yang dimaksud, kata dia, bisa berasal dari figur seperti presiden, menteri, pejabat, kepala daerah, dan politisi.
"Kedua adalah tokoh kesehatan. Tokoh ini bisa juga di level sederhana sekalipun.
Katakanlah dokter puskesmas. Masyarakat kan pasti akan melihat, oh pak dokter sudah divaksin, tidak apa-apa," ujar Dicky.
Alasan pemerintah pilih Raffi Ahmad