Hal itu terlihat tak adanya wakil dari PDIP yang menghadiri penetapan presiden dan wakil presiden terpilih di KPU RI.
Bahkan, PDIP juga berencana menggugat hasil Pilpres 2024 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) meski sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Nah ini juga menandakan bahwa PDIP belum bisa keluar dari kemelut akibat luka politik yang begitu dalam terutama karena Jokowi," ujar dia.
Belum lagi mengenai buruknya hubungan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri dengan Susilo Bambang Yudhoyono dan kini dengan Presiden Jokowi, di mana nama tokoh terakhir kini berada dalam barisan kubu Prabowo.
Prabowo tentunya mempertimbangkan saran dan masukan dari rekan koalisinya jika ingin mengajak partai lain untuk ikut bergabung.
Sementara dengan PKS yang selama 10 tahun ini menjadi oposisi, hubungan PDIP dengan PKS juga ibarat air dan minyak.
Baca juga: Usai Ditetapkan Jadi Presiden, Prabowo Dikabarkan Sambangi Markas PKB, Ajak Gabung Pemerintahan?
"Jadi kemungkinan bisa saja PDIP akan disisakan sebagai satu-satunya partai yang tidak masuk dalam koalisi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto," kata Ginting.
Suara PDIP Bisa Terus Merosot
Jika dinamika politik yang terjadi seperti ini, Ginting memprediksi suara PDIP bakal kembali merosot dalam Pemilu 2029 mendatang.
Salah satu faktornya dimana hak angket Pemilu yang katanya mau digulirkan oleh PDIP, nyatanya cuma sekadar retorika semata.
"Sekaligus juga menandakan bahwa di era Reformasi ini hanya Presiden Jokowi yang tidak pernah mendapatkan hak angket dari Parlemen.
Artinya apa? Artinya Parlemen di era Jokowi dipimpin oleh PDIP, sesungguhnya Parlemen ini hanya stempel pemerintah. Sama saja dengan era Presiden Soeharto, era Orde Baru.
Jadi kritik PDIP terhadap era kepemimpinan Orde Baru Presiden Soeharto malah kemudian diikuti lagi.
Jadi orang semakin tidak percaya publik, semakin tidak percaya lagi terhadap PDIP dan ke depan kemungkinan dalam pemilu 2029, suara PDIP juga akan tergerus lagi," paparnya.
(TribunNewsmaker.com/TribunJakarta.com)