Pengalaman saya dalam merancang pembelajaran berdiferensiasi dimulai dari kebutuhan untuk menjawab pertanyaan sederhana namun krusial: Bagaimana saya bisa membuat semua siswa merasa terlibat, dihargai, dan tumbuh sesuai potensinya?
Saya memulai proses ini dengan mengenali karakteristik siswa di kelas. Melalui observasi sehari-hari, dialog informal, dan asesmen diagnostik awal, saya mengidentifikasi perbedaan gaya belajar, minat, serta tingkat kesiapan belajar mereka.
Bermodal pemahaman tersebut, saya menyusun strategi pembelajaran yang fleksibel. Konten saya sajikan dalam berbagai bentuk—video, teks, gambar—untuk mengakomodasi gaya belajar visual, auditori, dan kinestetik. Proses belajar juga saya bedakan: ada yang belajar secara mandiri, ada yang berkelompok, dan ada pula yang dibimbing secara langsung.
Produk akhir pun bervariasi—mulai dari presentasi, laporan tertulis, hingga proyek kreatif—sesuai dengan kekuatan dan minat siswa.
Selama proses berlangsung, saya rutin melakukan penilaian formatif untuk melihat sejauh mana strategi ini berjalan efektif. Siswa saya ajak untuk merefleksikan proses belajarnya, memberikan umpan balik, dan berdiskusi terbuka tentang apa yang membantu atau menghambat mereka.
Di akhir pembelajaran, saya merefleksikan seluruh proses yang telah dilalui. Saya melihat bahwa dengan diferensiasi, siswa menjadi lebih antusias dan percaya diri dalam belajar. Meski tentu masih ada tantangan, saya merasa langkah-langkah ini bisa terus saya kembangkan dan sesuaikan untuk mencapai tujuan pembelajaran secara lebih inklusif dan efektif.
(Tribunnewsmaker.com/Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)