Sosok
Cara Licik Halim Kalla, Adik Eks Wapres RI Jusuf Kalla Rugikan Negara Rp 1,3 T, Ini Peran & Kasusnya
Inilah cara licik Halim Kalla, adik Eks Wapres RI Jusuf Kalla yang rugikan negara Rp 1,3 Triliun, terungkap peran dan kronologi kasusnya.
Editor: Listusista Anggeng Rasmi
Kasus ini awalnya ditangani oleh Polda Kalbar yang telah melakukan penyelidikan sejak tahun 2021, sebelum akhirnya diambil alih oleh Bareskrim Polri pada Mei 2024 karena besarnya skala kerugian.
Kasus korupsi pembangunan PLTU 1 Kalbar ini tidak hanya mengguncang dunia bisnis nasional, tetapi juga mencoreng nama besar keluarga Kalla yang selama ini dikenal luas dalam dunia usaha dan politik tanah air.
Publik pun kini menanti bagaimana penegak hukum akan menuntaskan kasus besar ini dan memastikan bahwa setiap pelaku—baik dari sektor swasta maupun pejabat negara—akan dimintai pertanggungjawaban yang setimpal.
Di tengah kekecewaan masyarakat terhadap proyek-proyek mangkrak dan korupsi besar, kasus ini menjadi simbol pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam pengelolaan proyek strategis nasional.
Baca juga: Jusuf Kalla Puji Pramono Anung Jelang Pilkada Jakarta, Bandingkan dengan Ahok: Tidak Meledak-ledak

Duduk Perkara: Dari Lelang PLTU ke Dugaan Korupsi
PLTU Kalbar-1 dilelang pada 2008 dengan pendanaan dari PT PLN (Persero), bersumber dari kredit komersial Bank BRI dan BCA melalui skema Export Credit Agency (ECA).
Pemenang lelang ditetapkan sebagai konsorsium Kerja Sama Operasi (KSO) BRN, yang dipimpin oleh Halim Kalla.
Namun, konsorsium dinilai tidak memenuhi sejumlah persyaratan prakualifikasi dan teknis.
Mereka tidak memiliki pengalaman membangun pembangkit tenaga uap minimal 25 MW, tidak menyerahkan laporan keuangan audited tahun 2007, dan tidak menyampaikan dokumen SIUJKA.
“Penetapan pemenang lelang dilakukan meski konsorsium tidak memenuhi syarat teknis dan administratif. Ini menjadi titik awal rangkaian pelanggaran yang berujung pada kerugian negara,” ujar Irjen Cahyono Wibowo.
Kontrak pekerjaan senilai USD 80 juta dan Rp507 miliar ditandatangani pada 11 Juni 2009 antara RR dan Fahmi Mochtar.
Seluruh pekerjaan kemudian dialihkan kepada pihak ketiga, yakni PT PI dan QJPSE, perusahaan energi asal Tiongkok.
“Seluruh pekerjaan dialihkan ke pihak ketiga tanpa dasar hukum yang jelas. Proyek mangkrak, tapi uang sudah mengalir,” tambah Cahyono.
Pembangunan PLTU gagal dimanfaatkan sejak 2016, meski kontrak telah direvisi sepuluh kali hingga 2018.
Menurut laporan investigatif BPK RI, proyek ini menimbulkan indikasi kerugian negara sebesar USD 62,410 juta dan Rp323,2 miliar.
Polri menyebut kasus ini sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hukum dalam pengadaan barang dan jasa.