Sosok
Cara Licik Halim Kalla, Adik Eks Wapres RI Jusuf Kalla Rugikan Negara Rp 1,3 T, Ini Peran & Kasusnya
Inilah cara licik Halim Kalla, adik Eks Wapres RI Jusuf Kalla yang rugikan negara Rp 1,3 Triliun, terungkap peran dan kronologi kasusnya.
Editor: Listusista Anggeng Rasmi
Cara Licik Halim Kalla, Adik Eks Wapres RI Jusuf Kalla Rugikan Negara Rp 1,3 T, Ini Peran & Kasusnya
TRIBUNNEWSMAKER.COM - Nama Halim Kalla, adik kandung mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, kini menjadi perbincangan hangat di tengah publik setelah ia secara resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat yang berlangsung pada 2008 hingga 2018.
Proyek yang semestinya menjadi solusi penyediaan listrik bagi masyarakat Kalbar ini justru berubah menjadi ladang permainan kotor, merugikan negara hingga lebih dari satu triliun rupiah.
Cara licik Halim Kalla dalam mengakali proyek senilai Rp1,3 triliun ini akhirnya terbongkar setelah aparat kepolisian melakukan penyelidikan mendalam selama bertahun-tahun.
Melalui perusahaan miliknya, PT Bakrie Rachmat Nusantara (BRN), Halim diduga kuat berperan aktif memenangkan tender proyek dengan cara-cara yang tidak sah dan melanggar aturan.
Dalam proses tender, PT BRN bekerja sama dengan sejumlah pejabat PLN untuk mengatur pemenangan proyek sejak awal, menciptakan sebuah rekayasa tender yang merugikan publik.
Fakta-fakta mencengangkan terungkap dari penyelidikan: mulai dari pemufakatan jahat antar pelaku, pencairan dana sebelum pekerjaan selesai, hingga proyek yang akhirnya mangkrak dan tidak pernah bisa difungsikan.
“FM selaku Dirut PLN telah melakukan pemufakatan untuk memenangkan salah satu calon bersama tersangka HK dan tersangka RR dari PT BRN,” ungkap Brigjen Totok Suharyanto, Dirtindak Kortas Tipidkor Polri, kepada wartawan.
Penetapan Halim Kalla sebagai tersangka merupakan hasil dari penyelidikan intensif yang dilakukan Bareskrim Polri sejak tahun 2024.
Totok menyebutkan bahwa sejauh ini polisi telah memeriksa sedikitnya 65 saksi serta melibatkan lima orang ahli guna mengungkap seluk-beluk kasus tersebut.
Polisi juga telah menerima laporan audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memperkirakan total kerugian negara mencapai USD 62,4 juta dan Rp 323,1 miliar—kerugian yang dikategorikan sebagai total loss.
Lelang ulang pembangunan PLTU 1 Kalbar yang dilakukan oleh PLN pada tahun 2008 ternyata telah diwarnai berbagai pelanggaran dari tahap awal.
Baca juga: Sosok Halim Kalla, Adik Jusuf Kalla yang Terseret Pusaran Korupsi Proyek PLTU 1 Kalbar Rp1,3 T

Proyek tersebut sendiri berlokasi di Kecamatan Jungkat, Kabupaten Mempawah, Provinsi Kalimantan Barat, dan dirancang untuk menghasilkan listrik sebesar 2x50 megawatt.
Dalam proses lelang, panitia pengadaan diduga meloloskan konsorsium KSO BRN – Alton – OJSC yang sebenarnya tidak memenuhi persyaratan teknis maupun administratif.
“Selanjutnya, dalam pelaksanaan lelang diketahui Panitia Pengadaan atas arahan Dirut PLN, tersangka FM, telah meloloskan dan memenangkan KSO BRN – Alton – OJSC meskipun tidak memiliki syarat teknis maupun administrasi,” lanjut Brigjen Totok.
Hal yang makin mencurigakan adalah bahwa perusahaan Alton – OJSC bahkan tidak tergabung secara sah dalam KSO yang dibentuk dan dipimpin oleh PT BRN.
Pada tahun 2009, sebelum kontrak ditandatangani, seluruh pekerjaan proyek dialihkan oleh KSO BRN ke perusahaan lain yaitu PT Praba Indopersada.
Pengalihan ini dilakukan berdasarkan kesepakatan antara BRN dan Praba, di mana Praba akan memberi fee imbalan kepada PT BRN sebagai kompensasi.
Direktur utama PT Praba, yang disebut sebagai tersangka HYL, kemudian diberi wewenang sebagai pemegang penuh keuangan proyek dalam tubuh KSO BRN.
“Dalam hal ini diketahui bahwa PT Praba juga tidak memiliki kapasitas untuk mengerjakan proyek PLTU di Kalimantan Barat,” kata Totok menegaskan keterlibatan pihak yang tidak kompeten dalam proyek strategis ini.
Pada 11 Juni 2009, kontrak resmi ditandatangani oleh tersangka FM selaku Dirut PLN dan tersangka RR sebagai Dirut PT BRN, dengan nilai kontrak fantastis mencapai USD 80,8 juta dan Rp 507 miliar, atau jika dikonversikan saat itu, sekitar Rp1,254 triliun.
Kontrak ini mulai berlaku efektif sejak 28 Desember 2009, dengan target penyelesaian pada 28 Februari 2012.
Namun pada kenyataannya, hingga akhir masa kontrak, baik KSO BRN maupun PT Praba Indopersada hanya mampu menyelesaikan sekitar 57 persen dari total pekerjaan.
Dalam upaya menutupi kegagalan proyek, kontrak kemudian diamendemen sebanyak sepuluh kali hingga tahun 2018, tanpa penyelesaian yang nyata.
“Fakta sebenarnya, pekerjaan telah terhenti sejak 2016 dengan hasil pekerjaan hanya mencapai 85,56 persen,” beber Totok.
Meskipun belum selesai, PT KSO BRN telah menerima pencairan dana dari PLN sebesar Rp 323 miliar dan USD 62,4 juta, yang menambah parah kerugian negara.
Fakta ini mengindikasikan adanya pembiaran sistematis dan kemungkinan keterlibatan banyak pihak dalam praktik korupsi berjamaah ini.
Peran Halim Kalla dalam mengatur skenario pemenangan lelang, pengalihan pekerjaan, dan pencairan dana yang tidak sesuai progres menempatkannya sebagai tokoh kunci dalam kasus ini.
Tak heran jika kini Polri telah mencegah Halim Kalla bepergian ke luar negeri untuk mencegah risiko kabur atau menghilangkan barang bukti.
Selain Halim, penyidik juga terus mendalami dugaan keterlibatan mantan pejabat tinggi PLN dan mitra korporasi lainnya yang terlibat dalam rantai korupsi ini.
Kasus ini awalnya ditangani oleh Polda Kalbar yang telah melakukan penyelidikan sejak tahun 2021, sebelum akhirnya diambil alih oleh Bareskrim Polri pada Mei 2024 karena besarnya skala kerugian.
Kasus korupsi pembangunan PLTU 1 Kalbar ini tidak hanya mengguncang dunia bisnis nasional, tetapi juga mencoreng nama besar keluarga Kalla yang selama ini dikenal luas dalam dunia usaha dan politik tanah air.
Publik pun kini menanti bagaimana penegak hukum akan menuntaskan kasus besar ini dan memastikan bahwa setiap pelaku—baik dari sektor swasta maupun pejabat negara—akan dimintai pertanggungjawaban yang setimpal.
Di tengah kekecewaan masyarakat terhadap proyek-proyek mangkrak dan korupsi besar, kasus ini menjadi simbol pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam pengelolaan proyek strategis nasional.
Baca juga: Jusuf Kalla Puji Pramono Anung Jelang Pilkada Jakarta, Bandingkan dengan Ahok: Tidak Meledak-ledak

Duduk Perkara: Dari Lelang PLTU ke Dugaan Korupsi
PLTU Kalbar-1 dilelang pada 2008 dengan pendanaan dari PT PLN (Persero), bersumber dari kredit komersial Bank BRI dan BCA melalui skema Export Credit Agency (ECA).
Pemenang lelang ditetapkan sebagai konsorsium Kerja Sama Operasi (KSO) BRN, yang dipimpin oleh Halim Kalla.
Namun, konsorsium dinilai tidak memenuhi sejumlah persyaratan prakualifikasi dan teknis.
Mereka tidak memiliki pengalaman membangun pembangkit tenaga uap minimal 25 MW, tidak menyerahkan laporan keuangan audited tahun 2007, dan tidak menyampaikan dokumen SIUJKA.
“Penetapan pemenang lelang dilakukan meski konsorsium tidak memenuhi syarat teknis dan administratif. Ini menjadi titik awal rangkaian pelanggaran yang berujung pada kerugian negara,” ujar Irjen Cahyono Wibowo.
Kontrak pekerjaan senilai USD 80 juta dan Rp507 miliar ditandatangani pada 11 Juni 2009 antara RR dan Fahmi Mochtar.
Seluruh pekerjaan kemudian dialihkan kepada pihak ketiga, yakni PT PI dan QJPSE, perusahaan energi asal Tiongkok.
“Seluruh pekerjaan dialihkan ke pihak ketiga tanpa dasar hukum yang jelas. Proyek mangkrak, tapi uang sudah mengalir,” tambah Cahyono.
Pembangunan PLTU gagal dimanfaatkan sejak 2016, meski kontrak telah direvisi sepuluh kali hingga 2018.
Menurut laporan investigatif BPK RI, proyek ini menimbulkan indikasi kerugian negara sebesar USD 62,410 juta dan Rp323,2 miliar.
Polri menyebut kasus ini sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hukum dalam pengadaan barang dan jasa.
Sosok Halim Kalla
Dikutip dari situs resmi KPU RI, Halim pernah menjabat sebagai Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan II periode 2009-2014:
Tempat/Tanggal Lahir : Ujung Pandang, 1 Oktober 1957
Alamat Tempat Tinggal : Jl. Lembang No. 9 RT/RW 006/005 Menteng Jakarta Pusat
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status Perkawinan : Kawin
Jumlah anak : dua orang
Pekerjaan : Direktur Utama Intim Wira Energi Wisma Nusantara Jakarta
Direktur PT BRN
Pendidikan Terakhir : State Univ. of New York at Buffalo, USA
Perolehan Suara : 34.755
Sementara itu, diantara karyanya yang sempat mengangkat derajat Indonesia adalah kendaraan listrik melalui Haka Auto, meski masih dalam bentuk prototipe.
Kendaraan listrik itu diberi nama Smuth, Erolis dan Trolis.
Smuth EV mengusung model pikap dengan motor listrik berdaya 7,5 kw.
Sementara, baterainya menggunakan lithium ion berkapasitas 15,4 kwh.
Erolis mengadopsi bentuk passenger car berukuran mini macam Wuling Air EV.
Erolis menggunakan motor listrik berdaya 4 kw, yang dipadukan dengan baterai lithium ion berkapasitas 7,6 kwh.
Adapun Trolis punya bentuk layaknya motor tiga roda.
Menggunakan motor listrik berdaya 5 kw, dengan baterai lithium ion berkapasitas 7,6 kwh.
(TribunNewsmaker.com/ TribunJakarta)