Taktik Dedi Mulyadi & Pramono saat DBH Dipotong Purbaya, Tak Protes: Birokrasi Puasa, Warga Pesta
Inilah beda taktik Dedi Mulyadi dan Pramono saat DBH dipotong Menkeu Purbaya, tak protes, sebut birokrasi puasa, masyarakat pesta.
Editor: Listusista Anggeng Rasmi
Taktik Dedi Mulyadi & Pramono saat DBH Dipotong Purbaya, Tak Protes: Birokrasi Puasa, Warga Pesta
TRIBUNNEWSMAKER.COM - Seluruh daerah di Indonesia kini merasakan dampak kebijakan pemangkasan Dana Bagi Hasil (DBH) oleh pemerintah pusat.
Tidak hanya wilayah kecil, daerah besar seperti Jakarta dan Jawa Barat pun ikut terkena imbasnya.
Kebijakan ini diumumkan langsung oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang menegaskan bahwa langkah tersebut diambil karena keterbatasan fiskal negara.
Menurut Purbaya, pengelolaan fiskal harus dilakukan secara ketat agar keuangan negara tetap sehat dan berkelanjutan.
Ia menyebut bahwa DBH untuk DKI Jakarta dipotong cukup besar, yakni dari Rp 26 triliun menjadi hanya Rp 11 triliun.
Artinya, Jakarta kehilangan sekitar Rp 15 triliun dari alokasi dana yang seharusnya diterima.
Sementara itu, Jawa Barat juga tidak luput dari pengurangan, di mana DBH-nya turun dari Rp 2,2 triliun menjadi Rp 843 miliar, atau berkurang sekitar Rp 1,3 triliun.
Meski demikian, baik Gubernur Jakarta Pramono Anung maupun Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi sama-sama tidak melayangkan protes terhadap kebijakan tersebut.
Keduanya memilih untuk memahami kondisi keuangan negara dan menyiapkan strategi agar pembangunan di daerah masing-masing tetap berjalan.
Namun, cara keduanya dalam menyiasati pemotongan DBH itu berbeda.
Baca juga: Menkeu Purbaya Lawan Luhut, Tegas Potong Anggaran MBG Jika Tak Terserap, Didukung Mahfud: Rasional

Siasat Pramono: Jakarta Collaboration Fund
Pramono memilih jalur kreatif dengan menggagas program Jakarta Collaboration Fund, sementara Dedi melakukan efisiensi dengan memangkas konsumsi para birokrat di lingkup pemerintahannya.
Bagi Pramono, pemangkasan DBH bukanlah bencana, melainkan momentum untuk memperkuat kemandirian keuangan daerah.
Ia menilai, langkah Kementerian Keuangan itu sudah melalui proses pertimbangan matang dan berorientasi pada kepentingan nasional.
“Pemerintah Jakarta sama sekali tidak argue terhadap itu. Kami akan mengikuti dan menyesuaikan. Karena kami tahu langkah pemerintah pusat sudah dipikirkan secara matang, termasuk soal dana bagi hasil,” ujar Pramono usai menerima kunjungan Menkeu Purbaya di Balai Kota Jakarta, Selasa (7/10/2025).
Sebagai solusi, Pramono mengajukan izin kepada Kementerian Keuangan untuk menjalankan pembiayaan kreatif melalui Jakarta Collaboration Fund.
“Kami meminta izin kepada Kementerian Keuangan untuk menyetujui Jakarta melakukan creative financing, di antaranya melalui Jakarta Collaboration Fund,” jelasnya.
Program ini, menurutnya, akan menjadi terobosan baru agar pembangunan Jakarta tidak lagi sepenuhnya bergantung pada APBD.
Dengan skema tersebut, Pemprov DKI dapat menarik sumber dana dari berbagai pihak melalui mekanisme kolaborasi investasi.
Selain itu, Pemprov juga berencana memanfaatkan dana Rp 200 triliun yang tersimpan di Bank Himbara untuk memperkuat kinerja BUMD Jakarta.
Langkah berani Pramono itu mendapat apresiasi langsung dari Menkeu Purbaya.
Ia menilai, pendekatan yang dilakukan Jakarta sejalan dengan semangat efisiensi dan inovasi fiskal yang diinginkan pemerintah pusat.
“Saya pikir kita akan mendukung strategi itu,” ujar Purbaya memberi dukungan terbuka.
Bahkan, ia mendorong kepala daerah lain yang DBH-nya juga dipotong untuk meniru langkah inovatif Jakarta.
Program Jakarta Collaboration Fund sejatinya bukan hal baru.
Skema ini sudah diperkenalkan oleh pasangan Pramono Anung – Rano Karno sejak masa kampanye Pilkada Jakarta 2024.
Kini, program itu benar-benar diwujudkan sebagai bagian dari upaya menjaga kemandirian fiskal ibu kota.
Ke depan, Jakarta Collaboration Fund akan berbentuk lembaga pengelola investasi yang fokus membiayai proyek-proyek strategis.
Pemprov DKI Jakarta ingin menciptakan sistem pembiayaan yang inovatif agar tidak lagi bergantung pada sumber-sumber tradisional.
Sumber tradisional yang dimaksud meliputi pajak daerah, retribusi, dividen BUMD, dan dana transfer dari pusat.
Melalui program ini, Jakarta berupaya mengundang kolaborasi antara sektor publik dan swasta untuk mendanai pembangunan kota.
Dengan begitu, pembiayaan proyek infrastruktur dan layanan publik dapat berjalan lebih fleksibel dan berkelanjutan.
Langkah ini diharapkan dapat menjadi model baru bagi daerah lain dalam menciptakan kemandirian fiskal.
Lewat Jakarta Collaboration Fund, Jakarta bukan hanya beradaptasi dengan pemotongan DBH, tetapi juga menunjukkan bahwa inovasi dapat lahir dari keterbatasan.
Baca juga: Gebrakan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa, Usul Presiden Tak Pusing Cari Pengganti Wamenkeu: Irit Gaji!

Dedi Mulyadi Bikin Birokrat Puasa
Sementara itu, Gubernur Dedi Mulyadi akan merombak Aanggaran Pendapatan dan belanja Daerah (APBD) demi menyiasati potongan DBH.
Ia tidak akan mengurangi, bahkan meningkatkan anggaran infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat.
"Kalau pengurangan pasti memiliki dampak ya, tetapi kita tidak boleh mengeluh. Saya sampaikan dana transfer ke Jabar boleh menurun, tetapi angka pembangunan di Jabar akan saya tingkatkan," kata Dedi Mulyadi saat menghadiri acara Hari Jadi ke-498 Indramayu di Gedung DPRD Indramayu, Selasa (7/10/2025), dikutip dari Kompas.com.
Dalam kesempatan itu, Dedi bahkan bersumpah akan menaikkan anggaran untuk pembangunan infrastruktur meski dana dari pusat berkurang.
"Saya bersumpah anggaran jalan saya dinaikkan menjadi Rp 3,5 triliun," kata dia saat memberikan sambutan.
Untuk realisasinya, Dedi menegaskan, birokrat harus hidup prihatin sebagai gantinya.
Karena itu, jangan heran ketika nanti pada tahun depan saat pelaksanaan Hari Jadi Provinsi Jawa Barat hanya ada suguhan air putih.
Hal ini karena anggaran konsumsi tersebut sudah dihapuskan, termasuk pemangkasan di sejumlah pos seperti belanja barang dan jasa, pemeliharaan gedung, perjalanan dinas, hingga kebutuhan transportasi.
Penghematan juga akan dilakukan pada pos non-esensial seperti jamuan makan, perjalanan dinas, hingga penggunaan AC.
Kebijakan penghematan ini, lanjut Dedi, bukan tanpa alasan. Ia ingin agar dana pemerintah lebih banyak diarahkan untuk pembangunan yang langsung dirasakan masyarakat.
"Biarkan birokrasi berpuasa, tetapi masyarakat bisa berpesta," tutur Dedi Mulyadi.
Di sisi lain, Dedi menjelaskan, Pemprov Jabar saat ini memiliki dua fokus utama pembangunan, yakni perbaikan infrastruktur jalan dan penataan tata kelola air.
Keduanya dianggap menjadi kunci untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama di sektor ekonomi dan pertanian.
Ia juga menekankan agar pajak dari kendaraan bermotor yang dibayar oleh masyarakat harus diprioritaskan untuk perbaikan jalan.
"Kenapa? Karena yang bayar pajak adalah yang punya motor dan punya mobil, mereka bayar pajak agar dilayani dengan jalan yang baik," tutur Dedi Mulyadi.
(Tribunnewsmaker.com/ TribunJakarta)