Berita Viral
10.842 Anak Keracunan, Mahfud Gertak Prabowo, JPPI Minta Dapur MBG Ditutup: Sebelum Korban Bertambah
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang jadi kebanggaan pemerintahan Prabowo Subianto kini berubah jadi momok nasional.
Editor: Eri Ariyanto
Sidang tersebut terdaftar dalam Sidang Perkara Nomor 112/PUU-XXIII/2025 yakni dengan agenda mendengar keterangan DPR serta ahli dan saksi pemohon.
Tepatnya mengenai Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi undang-undang.
"Tidak ada hari ini yang mengatakan MBG melanggar hak asasi manusia. Enggak ada. Semua percaya MBG adalah realisasi dari right to. No," ucapnya.
Namun, kata dia, realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya.
Program ini, yang diklaim sebagai realisasi hak atas pangan (right to food), justru mengorbankan hak-hak dasar lainnya seperti pendidikan dan kesehatan.
Herlambang menyoroti ketidakadilan ini dengan menekankan MBG bukan solusi inklusif, melainkan pengurasan sumber daya anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk pendidikan gratis bagi seluruh warga negara Indonesia hingga tingkat perguruan tinggi, sehingga mahasiswa tidak perlu membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT).
"Kenapa bukan pendidikan gratis untuk seluruh warga negara Indonesia? Kenapa harus MBG? Kenapa MBG menguras sumber daya ekonomi? anggaran terutama yang tidak pernah dialokasikan untuk pendidikan gratis sampai perguruan tinggi sehingga mahasiswa enggak ada perlu bayar UKT," tegas dia.
Lanjut Herlambang, banyak orang tua yang mengeluh tidak mampu membiayai sekolah anak-anak mereka, dan keluhan ini mudah ditemukan di media sosial.
Alih-alih memperbaiki akses pendidikan, MBG menurutnya justru menyebabkan pemindahan anggaran yang mengurangi fasilitas pendidikan dan kesehatan.
"Gara-gara MBG karena anggarannya pindah, fasilitas pendidikan berkurang, fasilitas kesehatan berkurang."
Pelanggaran ini dapat ditelusuri melalui konsep progressive realization dalam kerangka HAM, yang diatur dalam Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945.
Kata kunci di sini adalah "pemajuan", yang harus ditafsirkan sesuai Pasal 2 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR).
Pemajuan berarti pengembangan bertahap hak-hak HAM dengan memaksimalkan sumber daya yang tersedia (maximizing available resources), melalui langkah-langkah progresif dan ukuran legislatif yang tepat.
Konsep progressive realization menjadi kunci dalam pembangunan Indonesia karena sumber daya anggaran negara memang terbatas.
Tidak mungkin mencapai kesejahteraan instan untuk semua; oleh karena itu, diperlukan tahapan bertahap yang mengambil langkah-langkah (taking steps) secara bertahap.
"Progressive realization itu di mana sih letaknya dalam Undang-Undang Dasar pasal 28i ayat 4. Di situ ada kata, satu kata penting, pemajuan. Gimana cara menafsir pasal pemajuan di dalam Undang-Undang Dasar itu? Caranya adalah pasal 2 ayat 1 kovenan internasional hak ekonomi Sosial Budaya di mana pemajuan itu maksud yang ada adalah dikaitkan dengan progressive realization," katamya.
Namun, implementasi MBG sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) justru bertentangan dengan prinsip ini.
Program ini langsung mengalokasikan anggaran besar-besaran tanpa mempertimbangkan prioritas bertahap, sehingga melanggar prinsip indivisibility HAM—di mana satu hak tidak boleh mengorbankan hak lainnya.
MBG bukan hanya gagal merealisasikan right to food, tetapi juga menyingkirkan right to education dan right to health.
"Nah, ini juga tidak tepat. Nah, progressive realization itu sehingga membuat saya mengatakan MBG itu bukan soal right to food. No, dia justru menyingkirkan right to education, dia juga menyingkirkan right to health, kesehatan dan seterusnya," paparnya.
Studi ekonomi, termasuk penelitian terkini di Yogyakarta tentang tata kelola MBG yang masif, menunjukkan bahwa program ini justru membelenggu rakyat kecil dengan mengurangi akses layanan dasar.
Herlambang menekankan MBG tidak merujuk pada konsep bertahap yang benar, melainkan membatasi atau mengurangi hak-hak lain tanpa memaksimalkan sumber daya secara efisien.
Lantas dirinya mengutip tafsir Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada halaman 11 dokumen yang disebutkannya, bahkan negara dengan sumber daya terbatas wajib memperkenalkan program berbiaya rendah dan terarah untuk kelompok paling rentan.
Sumber daya yang ada harus digunakan secara efisien dan efektif, bukan dialihkan secara sepihak ke MBG yang mengorbankan kepentingan layanan dasar seperti pendidikan dan sanitasi.
Contohnya, diskusi tentang sanitasi yang muncul dalam persidangan menunjukkan bagaimana prioritas sempit seperti MBG menghambat kemajuan holistik.
"Kenapa saya bilang melanggar hak asasi manusia? Kembali ke konsep yang saya tulis, progressive realizations. Karena terbatas maka perlu tahapan. Enggak mungkin langsung semua dibikin sejahtera. Enggak mungkin. Saya juga sadar itu. Maka konstruksi hukum hak asasi manusia mengatakan, 'Bertahaplah taking steps, ambil langkah-langkah, maximizing available resources, memaksimalkan sumber daya dengan cara progresif maju dengan legislative measures.'"
Pada akhirnya, Herlambang memperingatkan bahwa tata kelola MBG yang buruk tidak hanya gagal memenuhi standar HAM internasional, tetapi juga mencelakakan rakyat.
Program ini, dengan diksi yang tepat disebut "menyingkirkan" atau "membelakangkan" hak-hak lain, menunjukkan ketidaksesuaian dengan semangat konstitusi.
Ia menambahkan, sekalipun suatu negara jelas-jelas memiliki sumber daya yang tidak memadai, kita tahu terbatas anggarannya, negara tersebut tetap harus memperkenalkan program-program berbiaya rendah dan terarah untuk membantu mereka yang paling membutuhkan sehingga sumber daya yang terbatas dapat digunakan secara efisien dan efektif.
"Progressive relation itu begitu cara berpikirnya. Ini konsep HAM. Enggak ada ceritanya justru teralokasi dana-dana MBG justru teralihkan ee mengalihkan maaf mengalihkan anggaran-anggaran yang juga punya kepentingan layanan dasar yang lain."
Untuk mencapai pemajuan sejati, Indonesia perlu kembali ke prinsip progressive realization: bertahap, inklusif, dan berbasis keadilan, bukan proyek ambisius yang mengorbankan fondasi HAM dasar.
Penelitian lanjutan tentang "military free nutritious millal governance" yang disebutkannya diharapkan segera tersedia untuk memperkuat argumen ini, mendorong perdebatan yang lebih sungguh-sungguh tentang pembangunan berkelanjutan.
Sederet Kontroversi Meilanie Buitenzorgy Dosen IPB, Sebut Gibran Lulusan SD & Ragukan Kampus MDIS |
![]() |
---|
Sosok Zaini Shofari, DPRD Jabar Kritisi Dedi Mulyadi Soal Donasi Rp1.000 per Hari: Bersifat Memaksa |
![]() |
---|
Sosok Febrian Sopir Pedangdut Cantika Alami Kecelakaan di Magetan, 2 Remaja Tewas, Ini Penyebab Laka |
![]() |
---|
Greta Thunberg Diseret & Dipaksa Cium Bendera Israel, Ditahan di Sel Penuh Kutu Busuk, Dideportasi |
![]() |
---|
Cara Abdul Aziz Evakuasi & Kuatkan Korban Robohnya Ponpes Al Khoziny, Ada Jenazah Pelindung Haikal |
![]() |
---|