Breaking News:

Sosok

Sosok Rasnal, Eks Kepala SMAN 1 Luwu Utara Bantu Gaji Honorer Rp 20 Ribu Dianggap Pungli, Kena PTDH

Inilah sosok Rasnal, mantan kepala SMAN 1 Luwu Utara kena PTDH, dianggap pungli gegara minta iuran Rp 20 ribu untuk bantu bayar gaji guru honorer

Editor: ninda iswara
TribunTimur/ Andi Bunayya
KEPSEK DIANGGAP PUNGLI - Sosok Rasnal, mantan Kepala SMAN 1 Luwu Utara kena sanksi PTDH, gegara tarik iuran Rp 20 ribu untuk bantu gaji guru honorer, dianggap pungli 
Ringkasan Berita:
  • Rasnal, mantan kepala SMAN 1 Luwu Utara kena PTDH.
  • Rasnal dianggap melakukan pungli gegara meminta iuran Rp 20 ribu untuk membantu bayar gaji guru honorer.
  • Guru dan orang tua murid tawarkan bantuan untuk kembalikan haknya.

TRIBUNNEWSMAKER.COM - Nama Rasnal, mantan Kepala SMAN 1 Luwu Utara, Sulawesi Selatan, kini tengah menjadi sorotan publik.

Bukan karena prestasinya yang gemilang di dunia pendidikan, melainkan karena keputusan pemberhentiannya tidak dengan hormat (PTDH) terkait kasus dana komite sekolah.

Bersama bendahara komite Abdul Muis, Rasnal diberhentikan dari jabatannya setelah terjerat persoalan pengelolaan dana tersebut.

Perjalanan karier Rasnal sebenarnya cukup panjang. Ia memulai langkahnya di dunia pendidikan sebagai tenaga honorer pada tahun 2002.

Setahun kemudian, ia resmi diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan mengajar di SMAN 1 Luwu Utara.

Dedikasinya membuatnya dipercaya memimpin SMAN 18 Luwu Utara pada 2016.

Dua tahun berselang, ia kembali ke sekolah awal kariernya, SMAN 1 Luwu Utara, kali ini sebagai kepala sekolah.

Baca juga: Sosok Abdul Muis, Guru SMAN 1 Luwu Utara Dipecat & Dipenjara gegara Bantu Bayar Gaji Guru Honorer

Namun, perjalanan panjang itu berakhir pahit. Pada 21 Agustus 2025, Rasnal menerima Surat Keputusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dari Gubernur Sulawesi Selatan.

Keputusan tersebut tertuang dalam SK Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.2/3973/BKD, yang mencabut statusnya sebagai ASN setelah ia dinyatakan bersalah dan menjalani hukuman pidana selama satu tahun dua bulan, sesuai Putusan Mahkamah Agung Nomor 4999 K/Pid.Sus/2023.

Yang membuat kisah ini begitu ironis, kasus yang menjeratnya tidak berawal dari niat memperkaya diri.

Menurut pengakuannya, semua bermula dari keinginannya membantu para guru honorer agar tetap bisa menerima hak mereka.

“Saya hanya ingin membantu. Tidak ada sepeser pun yang saya nikmati,” ujar Rasnal, dikutip dari Kompas.com.

Peristiwa itu bermula pada Januari 2018, tak lama setelah Rasnal dilantik menjadi Kepala SMAN 1 Luwu Utara.

Dari situ, rangkaian kejadian yang semula diniatkan untuk kebaikan justru berubah menjadi persoalan hukum yang menghentikan pengabdiannya di dunia pendidikan.

Bermula dari Gaji Honorer Belum Dibayar

Sekitar sepuluh guru honorer datang mengadu karena honor mengajar selama sepuluh bulan pada 2017 belum dibayarkan. 

“Saya kaget sekali. Bagaimana bisa mereka tidak dibayar selama itu? Padahal mereka tetap mengajar,” kenangnya. 

Sebagai kepala sekolah baru, ia menanyakan ke bendahara dan staf Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP). 

Dalam Petunjuk Teknis (Juknis) dana BOSP, hanya guru yang memenuhi empat syarat terdaftar di Dapodik, memiliki NUPTK, SK Gubernur, dan akta mengajar yang berhak menerima honor.

Dari sepuluh guru itu, hanya satu yang memenuhi kriteria. 

“Saya tidak tega melihat mereka tetap mengajar tanpa bayaran. Ini soal kemanusiaan,” ujarnya.

Komite Sekolah Sepakat Sumbangan Rp20 Ribu

Rasnal menggelar rapat dewan guru untuk mencari solusi, kemudian melibatkan komite sekolah dan orangtua siswa pada 19 Februari 2018. 

Rapat itu melahirkan kesepakatan: sumbangan sukarela Rp20 ribu per bulan per siswa, dikelola komite untuk membantu honor guru. 

"Semua orang tua setuju. Tidak ada paksaan, tidak ada yang menolak. Komite sendiri yang mengetuk palu,” kata Rasnal. 

Dana komite itu membuat sekolah bergeliat. Guru kembali bersemangat, lingkungan sekolah lebih terawat, dan kegiatan belajar mengajar meningkat. 

“Saya melihat perubahan nyata. Sekolah hidup kembali,” ujarnya.

Dianggap sebagai Pungli Pandemi 2020 menjadi awal badai baru. 

Muncul laporan dari sebuah LSM yang menilai sumbangan orang tua itu sebagai pungutan liar (pungli). 

Laporan diterima kepolisian, dan Rasnal menjadi pihak pertama yang dimintai keterangan. 

Ia menjalani pemeriksaan dan persidangan hingga akhirnya divonis bersalah oleh Mahkamah Agung.

Rasnal menjalani hukuman satu tahun dua bulan, delapan bulan di penjara dan sisanya tahanan kota. 

“Saya tidak punya uang 50 juta untuk membayar denda, jadi saya jalani semuanya,” katanya, tersenyum getir.

Baca juga: Sosok Gus Elham Yahya, Aksi Cium Pipi Anak Kecil Dikecam, Ditegur Ulama: Membuka Pintu Pelecehan

KEPSEK DIANGGAP PUNGLI - Sosok Rasnal, mantan Kepala SMAN 1 Luwu Utara kena sanksi PTDH, gegara tarik iuran Rp 20 ribu untuk bantu gaji guru honorer, dianggap pungli
KEPSEK DIANGGAP PUNGLI - Sosok Rasnal, mantan Kepala SMAN 1 Luwu Utara kena sanksi PTDH, gegara tarik iuran Rp 20 ribu untuk bantu gaji guru honorer, dianggap pungli (TribunTimur/ Andi Bunayya)

Kembali Mengajar Tanpa Gaji 

Setelah bebas pada 29 Agustus 2024, Rasnal kembali mengajar di SMA Negeri 3 Luwu Utara

Namun, gajinya tidak lagi masuk ke rekening sejak Oktober 2024. 

“Saya sudah mengajar, sudah bebas, tapi gaji saya tidak dibayar. Saya bertahan hampir setahun tanpa gaji,” tuturnya. 

Hingga akhirnya keluar keputusan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dari Pemerintah Provinsi Sulsel melalui Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.2/3973/BKD. 

“Saya terdiam lama. Saya pikir, beginikah nasib seorang guru yang ingin menolong?” ujarnya pelan.

Kini, Rasnal hidup bersama keluarganya dan mengandalkan anak-anaknya untuk kebutuhan sehari-hari. Meski begitu, semangatnya untuk mendidik belum padam.

Ia merasa keputusan tersebut tidak adil.

“Tidak ada niat sedikit pun mencari keuntungan pribadi. Saya hanya ingin agar guru honorer tetap mendapat hak mereka,” ujarnya.

Dengan kerendahan hati, Rasnal berharap Gubernur Sulsel meninjau kembali keputusan pemberhentian dirinya.

“Pengabdian saya selama ini seolah tidak berarti apa-apa di mata penguasa,” tutupnya.

Dalam kasus ini Rasnal dipecat bersama Abdul Muis.

Aksi Solidaritas Guru

Keputusan PTDH ini sontak memicu gelombang keprihatinan dan solidaritas dari berbagai pihak.

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Luwu Utara memimpin aksi damai, menuntut keadilan bagi rekan mereka yang dinilai menjadi korban kriminalisasi atas dasar kebijakan sekolah yang bertujuan mulia. 

Aksi itu juga mendukung Drs. Rasnal, M.Pd, guru dari UPT SMAN 3 Luwu Utara yang mengalami nasib serupa.

“Guru hari ini berada di posisi yang rentan. Tanpa perlindungan hukum yang jelas, kebijakan sekolah bisa berujung pada kriminalisasi,” ujar Ismaruddin, Ketua PGRI Luwu Utara.

PGRI kemudian mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Prabowo Subianto untuk dua guru tersebut.

Keduanya diberhentikan tidak hormat berdasarkan keputusan Gubernur Sulsel:

  • Drs. Rasnal, M.Pd, Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.2/3973/BKD
  • Drs. Abdul Muis, Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.4/4771/BKD

Kini, Abdul Muis berharap keputusan PTDH dapat ditinjau ulang demi memulihkan martabatnya sebagai pendidik menjelang masa purnabakti.
 
“Saya ini hadir dengan niat ikhlas untuk membantu sekolah. Tapi mungkin ini jalan yang harus saya lalui. Saya hanya ingin orang tahu, saya bukan koruptor,” tutur Muis.

Orang Tua Murid Bantu Cari Keadilan

Sejumlah orang tua siswa SMAN 1 Luwu Utara angkat bicara soal polemik dana komite sekolah yang menyeret mantan kepala sekolah dan bendahara komite hingga berujung hukuman penjara serta pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).

Para orang tua siswa membantah adanya unsur paksaan dalam pembayaran dana komite.

Mereka menegaskan iuran tersebut dibayar secara sukarela dan merupakan hasil kesepakatan bersama orang tua siswa serta pihak komite sekolah.

“Pembayaran dana komite itu adalah kesepakatan orang tua. Kami tidak keberatan dengan iuran itu, karena anak kami yang dididik,” ujar Akramah, orang tua siswa SMAN 1 Luwu Utara yang turut membayar dana komite pada 2018, dilansir dari Tribuntimur.com.

Akramah mengatakan, pembayaran iuran dilakukan dengan niat membantu guru honorer yang berjasa dalam mendidik anak-anak mereka.

“Pembayaran iuran itu untuk kebaikan guru yang mengajar anak kami. Kami tidak keberatan, apalagi Rp20 ribu itu tidak sebanding dengan jasa mereka,” tambahnya.

Ia juga memastikan dalam rapat komite, seluruh orang tua siswa sepakat untuk membayar iuran tersebut.

“Saat rapat pun tidak ada orang tua yang menolak. Semua sepakat karena itu untuk membantu sekolah,” ujarnya.

Akramah menyayangkan pemecatan terhadap dua pendidik tersebut yang dinilainya hanya berniat membantu guru honorer dan meningkatkan mutu pendidikan.

“Kembalikan hak dua guru yang diberhentikan. Mereka punya keluarga, dan anak-anak kami bisa sukses karena mereka,” ucapnya sambil meneteskan air mata.

Orang tua siswa lainnya, Taslim, juga menegaskan iuran sebesar Rp20 ribu per bulan itu dibayar secara sukarela setelah melalui rapat dan kesepakatan bersama.

“Pembayaran iuran itu tidak serta merta ada. Semua melalui rapat komite dan orang tua siswa,” kata Taslim, Senin (10/11/2025).

Ia menjelaskan, kebijakan tersebut bahkan memberikan keringanan bagi keluarga yang memiliki lebih dari satu anak di sekolah.

“Kalau ada dua anak bersaudara di sekolah, hanya satu yang membayar. Jadi memang tidak memberatkan,” jelasnya.

Para orang tua berharap pemerintah dapat meninjau ulang keputusan pemecatan terhadap dua pendidik tersebut.

“Kami tidak melawan putusan pemerintah, tapi mungkin perlu ditinjau ulang karena ini bukan korupsi. Dana itu bukan uang negara, melainkan sumbangan sukarela dari orang tua siswa. Kami meminta Bapak Presiden memperhatikan masalah ini dan mengembalikan hak dua guru yang dipecat,” harapnya.

(TribunNewsmaker/Bangkapos)

Sumber: Bangka Pos
Tags:
Luwu Utarahonorer
Rekomendasi untuk Anda

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved