Breaking News:

Veronica Koman Serahkan Data Korban Tewas di Papua ke Jokowi: Apa Presiden Tetap Tak Mengindahkan?

Serahkan data ratusan korban tewas di Papua ke Jokowi, Veronica Koman: Akankah Presiden tetap tak mengindahkan?

Editor: Irsan Yamananda
ABC.net.au / ABC TV: THE WORLD
Veronica Koman dalam wawancara dengan ABC, pada Kamis (3/10/2019) malam. (ABC.net.au / ABC TV: THE WORLD) 

TRIBUNNEWSMAKER.COMSerahkan data ratusan korban tewas di Papua ke Jokowi, Veronica Koman: Akankah Presiden tetap tak mengindahkan?

Veronica Koman kembali jadi perbincangan publik.

Pengacara Hak Asasi Manusia (HAM) itu mengaku telah menyerahkan data berisi 57 tahanan politik kepada Presiden Jokowi.

Selain itu, ia juga mengaku telah menyerahkan 243 korban sipil yang tewas di Nduga, Papua, sejak Desember 2018.

Veronica menjelaskan, data itu berhasil dia dapatkan setelah bekerja sama dengan sekelompok aktivis.

Ia menambahkan, dokumen itu diserahkan saat Jokowi di Australia.

Veronica Koman dalam wawancara dengan ABC, pada Kamis (3/10/2019) malam. (ABC.net.au / ABC TV: THE WORLD)
Veronica Koman dalam wawancara dengan ABC, pada Kamis (3/10/2019) malam. (ABC.net.au / ABC TV: THE WORLD) (ABC.net.au / ABC TV: THE WORLD)

Seperti diketahui, Presiden Jokowi memang sempat berkunjung ke Canberra pada hari Senin (10/2/2020).

Dalam dokumen tersebut, Veronica menyertakan data tahanan politik yang dikenakan pasal makar.

Saat ini, lanjut Veronica, puluhan orang tersebut sedang ditahan di tujuh kota di Indonesia.

Untuk ratusan korban tewas sejak Desember 2018, Veronica juga menyertakan usia dari daftar jenazah tersebut.

Menurutnya, ratusan korban itu ada yang tewas karena terbunuh oleh aparat keamanan, sakit, serta kelaparan dalam pengungsian.

Tanyakan Sosok di Belakang Jokowi saat Perkenalan Stafsus, Veronica Koman Disemprot Gibran: Ngawur!

Jadi Buronan, Veronica Koman Malah Mejeng di Media Australia, Tato di Lengan Kirinya Curi Perhatian

Bocoran Lengkap Kabinet Baru Jokowi - Maruf, Siapa dari Gerindra, Asal Papua, dan Kementerian Baru

"Tim kami di Canberra telah berhasil menyerahkan dokumen-dokumen ini langsung kepada Presiden Jokowi. Dokumen ini memuat nama dan lokasi 57 tahanan politik Papua yang dikenakan pasal makar, yang saat ini sedang ditahan di tujuh kota di Indonesia," ungkap Veronica melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (11/2/2020).

"Kami juga menyerahkan nama beserta umur dari 243 korban sipil yang telah meninggal selama operasi militer di Nduga sejak Desember 2018, baik karena terbunuh oleh aparat keamanan maupun karena sakit dan kelaparan dalam pengungsian,” sambung dia.

Vero mengungkapkan, Jokowi telah membebaskan lima tahanan politik Papua selama periode pertama pemerintahannya, pada tahun 2015.

Namun, pada periode keduanya, terdapat 57 tahanan politik yang sedang menunggu sidang.

"Di awal periode pertamanya pada 2015, Presiden Jokowi membebaskan lima tahanan politik Papua. Masyarakat memandang ini sebagai langkah yang penuh dengan harapan baru bagi Papua," ujarnya.

"Namun, pada awal dari periode keduanya saat ini, terdapat 57 orang yang dikenakan makar yang sedang menunggu sidang. Langkah ini hanya akan memperburuk konflik di Papua," lanjut Veronica.

Veronica pun mempertanyakan langkah Jokowi terhadap permintaan penarikan pasukan dari Nduga.

"Sekarang Presiden Jokowi sendiri yang sudah langsung pegang datanya, termasuk nama-nama dari 110 anak-anak dari total 243 sipil yang meninggal, akankah Presiden tetap tidak mengindahkan permintaan tersebut?" tuturnya.

Viral Video Anggota DPR Asal Papua, Jimmy Ijie Menangis Terisak di Rapat Paripurna, Ini Penyebabnya

Tahanan Politik Pengibar Bendera Kejora Papua Dibebaskan

Disambut ratusan pendukung yang meneriakkan yel 'Papua Merdeka!', tahanan politik Papua paling terkenal, Filep Karma, bebas, Kamis (19/11/2015), setelah menjalani 11 tahun penjara dari 15 tahun vonis yang dijatuhkan.

Dalam wawancara pertamanya kepada BBC Indonesia sejak dibebaskan, dia mengatakan sangat kaget saat diberi tahu bahwa ia akan dibebaskan dua tahun lebih awal.

"Saya tahunya akan dibebaskan tahun 2019. Karena saya menolak semua remisi," kata Filep Karma.

"Tiba-tiba saya dipaksa harus keluar dari penjara. Persiapannya waktu saya mau masuk penjara dulu, saya menganggap bukan dipenjara tapi pindah rumah. Jadi ini seperti sudah nyaman di rumah, tiba-tiba diusir keluar dari rumah saya. Jadi saya betul-betul shock dan bingung," tambahnya.

Filep Karma memimpin ratusan mahasiswa Papua meneriakan yel "merdeka" dalam sebuah unjuk rasa di Jayapura tahun 2004. Mereka kemudian mengibarkan bendera Bintang Kejora, bendera gerakan Papua Merdeka, dalam pengawasan penuh polisi dan militer.

Ia pun ditangkap dan disidangkan dituding memberontak. Karma kukuh menegaskan, ia sekadar menjalankan haknya untuk melakukan protes.

"Mereka meneror kami di negara yang disebut demokratis, di negara yang harusnya menjamin kemerdekaan berbicara."

 

Penjara besar

Filep Karma menegaskan tekadnya untuk terus memperjuangkan kemerdekaan Papua secara damai.

“Papua belum merdeka, berarti perjuangan saya belum selesai. Saya akan terus berjuang sampai Papua merdeka."

Dan untuk itu, katanya, ia siap untuk kembali dipenjara.

"Saya bebas dari penjara sekarang ini, sebetulnya saya masih dalam penjara, yaitu penjara besar Indonesia. Artinya saya masih terkurung dalam negara Indonesia dengan aturan-aturannya yang diskriminatif dan rasialis."

Dalam wawancara dengan BBC dari selnya tahun 2010, Filep Karma mengaku kerap disiksa di penjara.

"Saya dipukuli, ditendangi, digusur. Tetapi yang paling menyakiti saya adalah siksaan mental yang saya alami.

"Seorang petugas mengatakan pada saya, ketika kamu masuk sini, kamu kehilangan semua hak kamu, termasuk hak asasi manusia. Hak kamu cuma bernafas dan makan. Dia bahkan bilang, hidup kamu ada di tangan saya."

Terkait pembebasannya, Filep Karma mengucapkan terima kasihnya kepada para pendukungnya di Indonesia dan di seluruh dunia.

Ia mengatakan telah menerima ratusan surat dukungan, termasuk gambar yang dilukis anak sekolah di Eropa.

"Mereka memberi saya harapan, dan membuat saya merasa saya tidak sendirian," ungkapnya.

Andreas Harsono dari Human Rights Watch menyambut baik pembebasan Filep Karma, namun menyebutnya sebagai langkah terlambat pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Dia mengatakan, seharusnya sejak awal Filep Karma tak boleh dipenjarakan. Puluhan tahanan politik lain, lanjut dia, masih berada di balik penjara di Papua dan Maluku, dan menyerukan pebebasan mereka. (Tribunnewsmaker/ *)

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tahanan Politik Pengibar Bendera Kejora Papua Dibebaskan".

 
 
Sumber: Kompas.com
Tags:
Veronica KomanJokowiPapua
Rekomendasi untuk Anda
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved