Muhammadiyah Tanyakan Soal New Normal, Sebut Kasus Covid-19 Masih Tinggi: Sudah Dikaji Secara Valid?
Pimpinan Pusat Muhammadiyah mempertanyakan kebijakan new normal yang tengah dipersiapkan pemerintah.
Editor: Listusista Anggeng Rasmi
TRIBUNNEWSMAKER.COM - Pimpinan Pusat Muhammadiyah mempertanyakan kebijakan new normal yang tengah dipersiapkan pemerintah.
Seperti yang diberitakan, Pemerintah sedang mempersiapkan kehidupan baru atau new normal pasca Covid-19.
Sejumlah persiapan telah dilakukan Presiden Jokowi dalam menghadapi new normal.
Pemerintah sudah menyusun skenario tahapan untuk menerapkan new normal di Indonesia.
Tahapan ini guna memulihkan perekonomian yang sempat lumpuh saat pandemi Covid-19.
Sejumlah persiapan yang dilakukan antara lain, Selasa (26/5/2020) Jokowi melakukan pengecekan di Stasiun MRT Bundaran HI untuk melihat kesiapan new normal.
• 5 Opini Atiqah Hasiholan Komentari Istilah New Normal, Mengaku Tak Serang Pemerintah
• 5 Tokoh Ini Tak Setuju Pemerintah Terapkan New Normal Terlalu Dini, Fadli Zon Beri Kritikan Pedas!

Jokowi juga meninjau kesiapan new normal di Summarecon Mall Bekasi di hari yang sama.
Selain itu, sebanyak 340.000 Personel TNI-Polri juga dikerahkan untuk persiapan new normal.
Namun, penerapan new normal di Indonesia ini ternyata dianggap terlalu dini oleh beberapa pihak.
Begitu juga dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir.
Ia mempertanyakan terkait rencana new normal.
Wacana ini dinilai tidak relevan dilaksanakan lantaran angka penularan Covid-19 di Indonesia saat ini masih terbilang tinggi.
"Laporan BNPB menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 masih belum dapat diatasi. Pemerintah justru melonggarkan aturan dan mulai mewacanakan new normal," kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Kamis (28/5/2020).
• Protokol Ojek Online Cegah Penularan Corona Saat New Normal, Minta Penumpang Pakai Helm Sendiri
• Indikator Daerah Dianggap Siap Terapkan New Normal, Gugus Tugas Covid-19: Kasus Positif Harus Turun
"Apakah semuanya sudah dikaji secara valid dan seksama dari para ahli epidemiologi?" lanjut dia.
Menurut Haedar, wajar apabila pernyataan pemerintah tentang new normal belakangan ini menimbulkan tanda tanya dan kebingungan di kalangan masyarakat.
Di satu sisi, pemerintah masih memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah daerah.
Tapi, di sisi lain pemerintah menyampaikan pemberlakuan relaksasi.
"Kesimpangsiuran ini sering menjadi sumber ketegangan aparat dengan rakyat.
Bahkan, demi melaksanakan aturan kadang sebagian oknum aparat menggunakan cara-cara kekerasan," tutur Haedar.
Atas sikap pemerintah ini, menurut Haedar, wajar publik menilai pemerintah lebih mementingkan sektor ekonomi ketimbang keselamatan rakyatnya sendiri.
Ia mengatakan, penyelamatan ekonomi memang penting.
Tetapi yang tidak kalah penting adalah keselamatan masyarakat ketika wabah Covid-19 belum dapat dipastikan penurunannya.
Oleh karena itu, PP Muhammadiyah meminta supaya pemerintah mengkaji dengan saksama pemberlakuan new normal.
Pemerintah juga dminta memberi penjelasan yang objektif dan transparan mengenai dasar kebijakan new normal, maksud dan tujuan new normal, hingga konsekuensi terhadap peraturan yang sudah berlaku khususnya di wilayah PSBB.
Pemerintah juga diminta menyampaikan jaminan daerah yang sudah dinyatakan aman atau zona hijau yang diberlakukan new normal, serta persiapan yang dilakukan pemerintah untuk memastikan Covid-19 tak semakin meluas karena kebijakan tersebut.
Haedar mentatakan, tanggung jawab atas segala konsekuensi dari kebijakan new normal sepenuhnya ada pada pemerintah.
"Pemerintah dengan segala otoritas dan sumberdaya yang dimiliki tentu memiliki legalitas kuat untuk mengambil kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak," kata dia.

Kata Psikolog Soal New Normal
Sejak adanya kasus Covid-19 di Indonesia, kontak fisik antar sesama semakin berkurang karena adanya social distancing serta penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Penerapan jaga jarak yang sudah berlangsung hampir tiga bulan membuat digitalitasi semakin terasa di kehidupan sehari-hari.
Lantaran orang jadi belajar, bekerja, hingga beribadah secara online di rumah. Bahkan transaksi pembayaran pun sekarang sudah banyak mengandalkan dompet digital.
Kini pemerintah berencana menerapkan kenormalan baru atau new normal yang merupakan gaya hidup baru di tengah masa pandemi Covid-19.
Dalam menjalankan new normal, digitalisasi akan semakin masif menjadi bagian dari gaya hidup yang baru, baik dalam dalam bertransaksi maupun berinteraksi dengan sesama.
"Mau enggak mau kita harus masuk new normal. Terus untuk new normal itu nanti lebih cenderung banyak kita revolusi digital," ujar Psikolog Sosial dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Hening Widyastuti kepada Kompas.com, Rabu (28/5/2020).
Digitalisasi tentunya memiliki dampak pada efisiensi sumber daya manusia di berbagai sektor. Perusahaan akan lebih banyak mengandalkan otomatisasi.
Fenomena ini mau tak mau harus dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, perlu menyiapkan mental untuk menerima new normal yang mengarah ke digitalisasi.

Menurut Hening, jika tidak bisa beradaptasi dengan kenormalan baru malah akan berimbas pada kesehatan mental.
"Kalau kita enggak mengikuti perubahan ini, maka kita akan ketinggalan, itu akan membuat stress dan derpesi luar biasa," katanya.
Hening bilang, menerima realita bahwa adanya perubahan, itu berarti juga harus merubah pola pikir lama menjadi baru. Salah satunya dengan berpikir kreatif.
Masyarakat harus mampu mencari peluang dari dalam dirinya, apa yang potensial untuk dikembangkan di tengah semua yang serba digitaliasasi. Hal itu bisa dijadikan peluang untuk meningkatkan kemampuan finansial, seperti dengan berbisnis.
"Kemampuan apa yang digali. menyiapkannya harus mulai dari saat ini. Jadi secara psikologisnya harus menguatkan. Emosi, hati, dan pikiran itu harus di sinkron kalau memang situasi berubah," kata dia.
Dia menambahkan, mencari inspirasi juga dapat dilakukan bersama orang terdekat, teman maupun keluarga. Sehingga bisa saling menguatkan secara psikologis.
"Terus komunikasi dengan rekan-rekan yang positif, bukan yang menjatuhkan. karena itu berpengaruh pada diri kita. Ketika teman support, itu baik untuk psilogist kita. Kita akan semangat, bahwa harus siapkan diri enggak bisa main-main," jelas Hening. (Tribunnewsmaker/* dan Kompas.com/Yohana Artha Uly)
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kasus Covid-19 Masih Tinggi, Muhammadiyah Pertanyakan Rencana New Normal" dan "New Normal, Psikolog: Siapkan Diri untuk Digitalisasi yang Lebih Masif"
Baca juga di Tribunnews Kasus Corona Masih Tinggi, Muhammadiyah Pertanyakan Soal New Normal: Apa Sudah Dikaji Secara Valid?