Tak Mampu Beli HP, Siswa SMP di Jakarta Ini Setengah Tahun Tak Sekolah, Ayah Dirumahkan, Akui Pasrah
Remaja berusia 13 tahun itu bahkan sampai tidak dapat mengikuti ulangan tengah semester (UTS).
Editor: Listusista Anggeng Rasmi
TRIBUNNEWSMAKER.COM - Nasib pilu dialami oleh siswa SMP bernama Aditya Akbar.
Ia sudah setengah tahun tidak dapat mengikuti pelajaran daring.
Hal itu lantaran ia tidak mampu membeli smartphone.
Remaja berusia 13 tahun itu bahkan sampai tidak dapat mengikuti ulangan tengah semester (UTS).
Mengenai hal itu, Adit mengaku pasrah.
Terlebih sang ayah juga terkena dampak pandemi Covid-19.
Baca juga: 4 Bulan Tak Sekolah karena Tak Punya HP, Siswi SMP di Lombok Ini Pilih Menikah: Bingung Mau Ngapain
Baca juga: PERIKSA Materi Belajar Online Lewat Grup WhatsApp, Guru & Siswa Syok Muncul Video Mesum, Guru Diamuk

Ayahnya dirumahkan sehingga perekonomian keluarga semakin terhimpit.
Siswa kelas VII SMPN 286 itu hidup pas-pasan bersama seorang kakak dan ayahnya.
Ia tinggal di Kota Bambu Utara (KBU), Palmerah, Jakarta Barat.
Ayahnya sebelumnya bekerja sebagai buruh bengkel.
Namun harus dirumahkan karena pandemi Covid-19.
Semenjak itu pemasukan keluarga Aditya tidak menentu.
Terkadang, ayah Adit hanya menerima panggilan reparasi motor atau barang elektronik rusak.
Namun, tidak jarang keluarga itu tidak memiliki pemasukan harian, lantaran tidak ada permintaan reparasi.
Hal itulah yang membuat Aditya tidak mampu membeli smartphone.
"Mulai terkena imbas belajar daring sudah sejak kelas VI SD."
"Dulu ada handphone tapi sekarang tidak ada karena rusak," ujar Aditya, ditemui perwarta di rumah petaknya, Senin (26/10/2020).
Smartphone Aditya sudah rusak sejak ia mulai masuk SMP.
Ia pun memaklumi ketika ayahnya tidak dapat memberikan smartphone baru untuk belajar online.
Hal itu karena kondisi pemasukan keluarga yang tidak menentu imbas pandemi Covid-19.
Walhasil, sejak semester awal, Aditya tidak pernah ikuti pelajaran di kelasnya.
Bahkan untuk memberi tahu sekolah saja ia tidak bisa, lantaran keluarga tidak memiliki satupun alat komunikasi.
Maka, Adit memutuskan tidak ikut UTS.
Pihak sekolah lalu mendatangi rumah Adit di RT 10 RW 7 Nomor 41, Jalan Cempaka Bawah, Kota Bambu Utara, Palmerah, untuk mengonfirmasi ketidakhadiran Adit.
"Jumat (23/10/2020) lalu dari pihak sekolah datang ke sini, karena saya tidak ikut sekolah daring dan ulangan," ungkap Adit.
Menurut Adit, saat itu ayahnya pun sudah menjelaskan kondisi ekonomi keluarganya terimpit lantaran pandemi Covid-19.
Pihak sekolah pun tidak dapat berbuat banyak atas kesulitan yang dihadapi Adit.
Mereka berharap orang tua mengupayakan untuk membelikan Adit smartphone agar bisa kembali sekolah.
"Katanya kalau bisa harus beli smartphone biar bisa terus belajar," ucap Aditya.
Aditya bukan tidak ingin belajar.
Penyuka mata pelajaran IPA itu hanya tidak memiliki pilihan lain setiap kali melihat kondisi keuangan keluarganya.
Bocah yang bercita-cita menjadi polisi itu hanya pasrah jika tidak dapat lanjut sekolah karena tak memiliki smartphone.
"Enggak tahu harus bagaimana. Pasrah saja," ucap Adit lesu.
Survei: 95 Persen Guru di Indonesia Lebih Pilih Pembelajaran Jarak Jauh
Hasil survei Wahana Visi Indonesia dan Kemendikbud menunjukkan mayoritas guru di Indonesia lebih memilih model pembelajaran jarak jauh.
Education Team Leader Wahana Visi Indonesia Mega Indrawati mengatakan sebanyak 95 persen guru memilih pembelajaran jarak jauh atau pembelajaran campuran.
"Soal strategi belajar dari 95 persen guru setuju akan pembelajaran jarak jauh atau blended learning," ucap Mega dalam webinar Suara Guru, Kamis (22/10/2020).
Sementara guru di daerah tertinggal, terdepan, terluar (3T) lebih memilih pembelajaran jarak jauh luring (luar jaringan) dibanding daring (dalam jaringan).
Mega menduga hal ini kemungkinan karena keterbatasan akses dan infrastuktur untuk pembelajaran secara daring.
"Sementara guru untuk anak berkebutuhan khusus cenderung memilih pembelajaran daring," ungkap Mega.
Selain itu, hasil survei ini juga menemukan bahwa guru dalam mengatasi masalah dalam kegiatan belajar mengajar memilih berkonsultasi dengan teman sejawatnya di satu sekolah atau sekolah lain.
Sementara guru di daerah 3T cenderung kurang memiliki akses ke komunitas guru di satuan pendidikan.
Terkait dengan kebutuhan pembelajaran yang efektif, dan pemanfaatan teknologi informasi, sebanyak 40 persen guru menyatakan butuh pelatihan.
"Terkait TIK, 40 persen guru 3T dan guru yang usianya lebih tua butuh pelatihan dasar TIK," kata Mega.
Selain itu, guru di daerah 3T juga lebih membutuhkan kompetensi Pola Hidup Bersih Sehat (PHBS) sebanyak 54 persen. Sementara 31 persennya membutuhkan kompetensi tentang kurikulum.
Bagi guru di wilayah non 3T, kompetensi psikosisial lebih dibutuhkan. Guru pendidikan khusus juga membutuhkan kompetensi psikologis untuk mempersiapkan peserta didik.
Survei dilakukan kepada 27.046 guru dan tenaga kependidikan di 34 provinsi seluruh Indonesia.
Survei dilakukan pada 18 Agustus hingga 5 September 2020.
Responden guru dari wilayah Non 3T 95 persen dan 3T 5 persen.
Sebanyak 74 persen merupakan guru dari pendidikan umum, sementara 26 persen dari pendidikan khusus atau inklusi.
Berdasarkan wilayah, 52 persen responden guru berasal dari daerah risiko penularan Covid-19 tinggi, dan sisanya dari wilayah Covid-19 dengan penularan rendah.
Wahana Visi Indonesia dan Kemendikbud juga melakukan Diskusi Kelompok Terarah yang melibatkan 47 orang perwakilan asosiasi guru, serta guru dari wilayah 3T, SLB dan kepala sekolah. (Tribunnewsmaker/*)
Sebagian artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Tak Mampu Beli Smartphone, Siswa SMPN di Jakarta Barat Ini Sudah Setengah Tahun Tak Masuk Sekolah
Baca juga di Tribunnews Tak Mampu Beli Smartphone, Siswa SMP di Jakarta Ini Sudah Setengah Tahun Tak Sekolah, Akui Pasrah