Dedi Mulyadi Serukan Gerakan Donasi Rp1000 Per Hari, Sebut Hanya Sukarela, Menkeu Purbaya: Terserah
Dedi Mulyadi serukan gerakan donasi Rp1000 per hari, sebut sukarela, Menkeu Purbaya sebut terserah warga.
Editor: Listusista Anggeng Rasmi
Dedi Mulyadi Serukan Gerakan Donasi Rp1000 Per Hari, Sebut Sukarela, Menkeu Purbaya: Terserah Warga
TRIBUNNEWSMAKER.COM - Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tentang iuran donasi Rp1.000 per hari kini menjadi perbincangan publik dan turut mendapat tanggapan dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.
Purbaya menilai, ajakan untuk berdonasi merupakan bentuk inisiatif daerah yang sepenuhnya berada di bawah kewenangan pemerintah daerah masing-masing.
“Itu terserah kepada pemda-nya dan terserah kepada warganya,” ujar Purbaya usai bertemu Gubernur Jakarta dalam konferensi pers di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (7/10/2025), dikutip dari Tribunnews.com.
Lebih lanjut, Purbaya menegaskan bahwa Pemerintah Pusat tidak pernah mengeluarkan instruksi atau kewajiban apapun terkait pengumpulan donasi tersebut.
“Jadi dari pemerintah pusat tidak ada kewajiban donasi itu. Jadi, silakan saja kalau mau,” jelasnya menambahkan.
Kebijakan ini bermula dari program yang digagas Dedi Mulyadi bertajuk “Rereongan Sapoe Sarebu”, yakni ajakan menyumbang Rp1.000 per hari untuk membantu pemenuhan hak dasar masyarakat kurang mampu, terutama dalam bidang pendidikan dan kesehatan.
Surat Edaran (SE) mengenai program ini ditandatangani secara elektronik oleh Dedi pada 1 Oktober 2025, dan ditujukan kepada Bupati/Wali Kota se-Jawa Barat,
Kepala Perangkat Daerah, serta Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Barat.
Meski bersifat sukarela, surat edaran resmi tersebut telah dikirimkan ke berbagai instansi pemerintahan dan sekolah di seluruh wilayah Jawa Barat.
Donasi yang terkumpul nantinya akan dihimpun melalui unit kerja, sekolah, atau komunitas lokal, lalu disalurkan ke rekening khusus Bank BJB untuk dikelola secara transparan.
Baca juga: Dedi Mulyadi Dikritik Karena Ajak Warga Iuran Rp1.000 Per Hari, Aturan Disebut Terlalu Dipaksakan

Dana tersebut akan digunakan membantu biaya sekolah, pembelian seragam, buku pelajaran, serta pengobatan bagi warga yang tidak memiliki BPJS atau akses medis yang memadai.
Menanggapi pro dan kontra di masyarakat, Dedi Mulyadi dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi masyarakat, ASN, maupun pelajar untuk membayar iuran tersebut.
Ia menegaskan bahwa program ini hanyalah gerakan sosial sukarela, bukan kebijakan pemungutan dana oleh pemerintah provinsi.
"Yang ada adalah gubernur mengajak, menghimbau seluruh jajaran pemerintah untuk sama-sama membangun solidaritas sosial," ujar Dedi dalam rekaman video yang diterima Kompas.com, Senin (6/10/2025).
Dedi menjelaskan, ide tersebut lahir dari rasa keprihatinan terhadap kondisi warga kurang mampu yang kesulitan membayar kebutuhan pendukung ketika berobat, meski biaya layanan rumah sakit kini telah digratiskan pemerintah.
"Banyak orang yang rumah sakitnya gratis tetapi tidak punya biaya untuk ongkos ke rumah sakitnya. Tidak punya biaya untuk nungguin di rumah sakitnya. Tidak punya biaya untuk bolak-balik kemoterapi," kata Dedi menjelaskan alasannya.
Ia berharap gerakan ini mampu menumbuhkan kembali semangat gotong royong di tengah masyarakat, dimulai dari lingkungan paling kecil seperti RT dan RW.
Dedi menganjurkan agar warga bisa menabung seribu rupiah per hari ke dalam sebuah kotak kecil di depan rumah, seperti tradisi jimpitan yang dahulu populer di kampung-kampung.
Baca juga: Menkeu Purbaya Potong Dana TKD, 5 Gubernur Bereaksi, Sherly Tjoanda Keluhkan, Pramono Anung Pasrah

Dana yang terkumpul di tingkat RT nantinya akan dikelola oleh bendahara lingkungan dan digunakan untuk membantu warga sekitar yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi atau kesehatan.
Selain itu, Dedi juga meminta agar seluruh bentuk pengumpulan dan penggunaan dana dilaporkan secara terbuka setiap bulan kepada seluruh penyumbang.
"Setiap bulan harus dilaporkan pada seluruh penyumbang. Di setiap RT sudah ada grup WA sekarang. Di RW ada grup WA. Sangat mudah," ucapnya dengan optimis.
Ia percaya, jika gerakan kecil seperti ini dilakukan secara konsisten, maka nilai solidaritas dan rasa kemanusiaan masyarakat Jawa Barat akan semakin kuat.
Program “Rereongan Sapoe Sarebu” pun kini menjadi simbol baru ajakan kepedulian sosial berbasis gotong royong yang menginspirasi banyak pihak.
Meski menuai beragam pandangan, langkah Dedi dianggap sebagai upaya inovatif membangun empati sosial di tengah tantangan ekonomi masyarakat modern saat ini.
Dikritik Warga
Beberapa warga menilai program ini membebani masyarakat yang sudah dikenai pajak. Ada juga yang mempertanyakan transparansi dan potensi unsur paksaan, terutama bagi pelajar dan ASN.
Sebagian mengaku pasrah. Sebagian mengaku mendukung. Namun, ada juga yang mengaku ragu.
Satu di antara warga asal Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Edi Kusnaedi (35) mengaku sangat mendukung program rereongan ini meski masih ragu dengan pelaksanaannya.
"Seribu rupiah itu kan kecil sekali. Tapi kalau dikumpulkan banyak orang, pasti hasilnya besar. Bisa bantu anak-anak sekolah atau orang sakit yang tidak mampu," ujar Edi kepada Tribun Jabar, Sabtu (4/10/2025).
Namun, program yang baik akan berakhir buruk jika pelaksanaannya tidak sesuai dengan yang seharusnya.
"Apakah uangnya benar-benar sampai ke masyarakat atau tidak? Kita sering dengar bantuan tidak tepat sasaran. Jadi mekanismenya harus jelas, transparan, dan gampang diakses publik. Kalau itu bisa dibuktikan, pasti banyak orang yang mau ikut," katanya.
Berbeda dengan Edi, Enung (40) mengaku keberatan dengan program baru ini. Program seperti ini, ujarnya, rawan disalahgunakan.
"Terus terang saya kurang setuju. Seribu memang kecil, tapi kalau tiap hari dikumpulkan se-Jawa Barat kan jumlahnya besar sekali. Kalau tidak ada pengawasan ketat, ya rawan dikorupsi," ujar Enung, warga Kecamatan Soreang, ini.
Enung berharap Pemprov Jabar bisa mengkaji kembali kebijakan tersebut, terutama pada mekanisme pengawasannya.
"Buat saya, pemerintah harus buktikan dulu sistem pengawasannya benar-benar kuat.
Kalau tidak, iuran ini hanya akan menambah ketidakpercayaan masyarakat," ujarnya.
DPRD Kritik
Sementara itu, DPRD Jabar mengkritik Poe Ibu atau iuran Rp1.000 per hari, menilai kebijakan itu justru menunjukkan Pemprov tak bisa mengelola keuangan.
Anggota DPRD Jabar, Zaini Shofari, berpendapat Poe Ibu terkesan dipaksakan.
Sebab, selama ini, kata Zaini, Dedi Mulyadi selalu melarang adanya pungutan di lingkungan sekolah dan sumbangan di pinggir jalan.
Menurutnya, diterapkannya kebijakan iuran Rp.1000, justru berbanding terbalik dengan kebijakan Dedi Mulyadi selama ini.
"Saya contohkan, di pinggir jalan, masyarakat yang meminta sumbangan bantuan untuk sarana keagamaan dilarang tapi tak diberikan solusinya."
"Kemudian, untuk pesantren, majelis, atau lembaga keagamaan justru menjadi nol untuk bantuan hibah," katanya, Minggu (5/10/2025).
"Selanjutnya, gerakan Poe Ibu ini Pemprov Jabar menyandarkannya pada PP nomor 39 tahun 2012 tentang kesejahteraan sosial, namun di satu sisi KDM menabrak terkait rombongan belajar yang tertuang di dalam Permendikbudristek nomor 47 tahun 2023 yang semula 36 rombel dioptimalkan menjadi 50 siswa per rombel," imbuh Zaini.
Hal sedemikian rupa, lanjutnya, justru tidak baik untuk tata kelola bernegara, khususnya hal keuangan.
Ia menilai Pemprov Jabar tak bisa mengelola keuangan sebab harus melibatkan rakyat di luar hal pajak, untuk menanggung masalah pemerintah.
"Artinya, ketidakmampuan negara dalam hal ini Pemprov Jabar dalam mengelola tata keuangan Pemprov, sehingga masyarakat dilibatkan.
Padahal, pajak dan lain sebagainya sudah dilaksanakan masyarakat," kritiknya.
"Lantas, jangan kemudian dalih banyak warga yang mengadukan ke Lembur Kuring, kemudian dijadikan alasan atau dasar KDM sebagai bagian dari kesetiakawanan," pungkas dia
(TribunNewsmaker.com/ TribunSumsel)