Breaking News:

Virus Corona

Deretan Kearifan Lokal Warga dalam Perangi Corona, Masak Sayur Lodeh 7 Rupa hingga Berbagai Ritual

Antisipasi penyebaran virus corona, berikut deretan kearifan lokal warga demi pencegahan agar tak tertular.

Editor: ninda iswara
TribunNewsmaker.com Kolase/ Getty Images/ Kompas.com Arik Rahmadani
Ritual kearifan lokal warga dalam mencegah penyebaran virus corona di Indonesia. 

"Apa mikai bungaron, apakah kamu sehat?," kata dia.

Ritual tolak bala masyarakat Jawa 

Sementara itu, sejumlah warga Solo di Jawa Tengah menggelar ritual tolak bala untuk mengusir wabah virus corona yang sedang melanda.

Selain memasak sayur lodeh, ada juga warga yang memasang sesaji gantungan daun alang-alang dan daun opo-opo hingga cukur gundul.

Salah satu keluarga Keraton Kasunanan Surakarta, GKR Wandansari mempercayai bahwa pandemi virus corona Covid-19 disebut sebagai pagebluk, istilah orang Jawa untuk menyebut wabah penyakit.

Oleh sebab itu, sesuai dengan kepercayaan para leluhur, dilakukan ritual tolak bala atau tolak bahaya untuk menghalau pagebluk.

Ilmuwan Prediksi Puncak Corona di Indonesia Terjadi Akhir April, Bisa Turun Cepat, Ini Syaratnya

5 Upaya Jokowi Selamatkan Nasib Karyawan Korban PHK Karena Wabah Corona, Luncurkan Kartu Pra Kerja

"Kalau Keraton Yogya tolak bala dengan sayur lodeh, kalau saya dengan ritual memasang godong (daun) alang-alang dan godong opo-opo," ujar GKR Wandansari pada BBC News Indonesia.

Perempuan yang akrab disapa Gusti Moeng ini menuturkan dua jenis daun itu sering digunakan dalam berbagai ritual tradisi masyarakat Jawa seperti halnya tuwuhan yang dipasang di bagian kiri dan kanan pintu saat menggelar hajatan pernikahan.

Baginya, daun alang-alang dan daun opo-opo yang digabung menjadi satu itu memiliki simbol yang penuh makna.

"Ya, artinya ora ono alangan opo-opo (supaya tidak terjadi apa-apa). Terus kalau ada yang jelek-jelek ke kita itu di-alangi (dihalangi)," ungkap Gusti Moeng yang merupakan putri mending Raja Sinuhun Pakubuwana XII.

Sesaji tolak bala itu digantung di depan pintu. Menurutnya adanya sesaji daun alang-alang dan daun opo-opo itu diharapkan bisa menolak pagebluk yang masuk ke rumah.

"Digantung di atas pintu masuk. Tapi kalau di belakang terdapat pintu juga bisa dipasangi gantungan daun alang-alang dan opo-opo itu," terangnya.

Pemasangan daun alang-alang dan daun opo-opo telah dilakukan sejak tanggal 15 Maret 2020 lalu.

Para abdi dalam Keraton yang tergabung dalam Paguyuban Kawula Keraton Kasunanan Surakarta (Pakasa) yang tersebar di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, pun mengikuti ritual serupa.

"Tapi serentak pemasangan tolak bala daun alang-alang dan daun opo-opo itu dilakukan pada tanggal 21 Maret 2020 lalu," sebutnya.

Aksi tolak bala juga dilakukan di Kelurahan Gandekan, Jebres, Solo pada Senin (23/3/2020) lalu dengan memasak dan makan bersama sayur lodeh tujuh rupa. 

Sayur lodeh tujuh rupa itu terdiri dari kluwih, terung, kulit melinjo, waluh, daun so, tempe, dan cang gleyor bagi masyarakat Jawa memang sudah menjadi kepercayaan untuk tolak bala wabah maupun bencana yang terjadi.

Warga Gandekan, Arik Rahmadani, mengatakan tradisi memasak sayur lodeh tujuh rupa merupakan tradisi yang turun temurun dari nenek moyangnya di kala pagebluk.

"Selama itu baik dan positif kenapa tidak kita coba untuk membuat sayur lodeh tolak bala," kata dia.

"Kita ya percaya juga tidak, karena ini turunan dari nenek moyang. Dan makan bersama merupakan hal yang baik dan bentuk silaturahmi kita," lanjut Arief.

Berbeda dengan Arief yang skeptis dengan khasiat sayur lodeh, warga yang lain, Eka Diana memercayai sayur tersebut sebagai penolak bala.

"Jadi tujuannya untuk mengusir virus corona. Dan saya meyakini saja karena saya orang Jawa dan mengikuti ada Jawa," jelasnya.

Ritual tolak bala pun dilakukan oleh Wali Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo yang mencukur gundul rambutnya bersama para pejabat pemerintah kota Solo yang lain.

Baginya, cukur gundul bersama itu menurut kepercayaan orang Jawa sebagai salah satu cara menolak bala agar Solo terbebas dari wabah virus corona Covid-19.

"Gundul itu kan simbol untuk membersihkan segala sesuatu kotoran. Kalau digundul itu cara membersihkannya kan lebih mudah," jelasnya.

Menjaga keseimbangan 

Pakar antropologi yang juga peneliti Pusat Etnografi Komunitas Adat di Yogyakarta, Yando Zakaria, memandang adat dan ritual yang dilakukan oleh masyarakat adat di tengah wabah, pada dasarnya adalah untuk menjaga keseimbangan.

"Masyarakat adat dengan perkembangan kehidupan yang mereka hadapi dengan segala pengetahuan mereka tentang alam, pada umumnya memiliki prinsip kehidupan bagaimana menyeimbangkan, menjaga keseimbangan tiga arah, hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dan alam sekitar dan hubungan manusia dengan alam yang di luar jangkauan manusia," ujar Yando.

Ganjar Pranowo Tanggapi soal Warga Tolak Pemakaman Perawat Corona, Siapkan Taman Makam Pahlawan

Kisah Pasien Covid-19 di Sumsel Sembuh dari Corona Setelah Dikabari Anaknya Lolos Kedokteran Udayana

Wabah penyakit, gagal panen, lanjut Yando, dianggap sebagai bencana oleh masyarakat adat.

Oleh karena itu, bukan hal yang aneh jika dalam kehidupan masyarakat adat ditemukan tradisi yang sebenarnya menjaga keseimbangan, atau memulihkan keseimbangan.

"Intinya adalah bagaimana kehidupan manusia dan masyarakatnya selalu seimbang dengan mereka sesama manusia, dengan alam, dengan dunia yang lebih luas, katakanlah dunia ghaib atau supranatural yang tidak mereka bisa lihat, jelasnya.

Tak hanya itu, menurut Yando, masyarakat adat kerap melakukan upaya preventif dengan memberlakukan tradisi-tradisi yang mereka anggap tabu, atau pelarangan untuk melakukan sesuatu pada masa tertentu. 

Sementara itu, Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara mengungkapkan, tradisi dan ritual yang dilakukan pada saat wabah atau bencana tak lepas dari apa yang dia sebut sebagai "memori kolektif".

"Masyarakat adat kan juga punya memori kolektif tentang pandemi. Jadi apa yang saat ini bisa dibandingkan dengan apa yang terjadi seratus tahun lalu," ujar Rukka.

Dia menjelaskan, pada saat flu Spanyol mewabah di Tana Toraja pada abad lalu, membuat warga ketakutan karena wabah itu menewaskan banyak masyarakat adat Toraja.

Memori kolektif akan wabah yang terjadi sebelumnya, membuat masyarakat adat lebih mawas diri dalam menjaga keseimbangan dengan alam dan sesama manusia.

Kelompok paling rentan 

Lebih lanjut, Rukka menjelaskan bahwa jika wabah virus corona semakin meluas, masyarakat adat menjadi salah satu kelompok yang sangat rentan.

Kenapa masyarakat adat menjadi sangat rentan, karena selama ini kondisi geografis masyarakat adat yang sulit terjangkau, dan minim fasilitas layanan kesehatan dari pemerintah.

"Kalau sampai masyarakat adat kena Covid-19, dan banyak meluas, bisa dipastikan akan banyak sekali masyarakat adat yang mati tak terurus. Jadi ini bahaya sekali," tegas Rukka.

Senada, pegiat hak-hak Suku Orang Rimba, Butet Manurung mengungkapkan ketika masyarakat adat semakin tergantung pada dunia luar, mereka akan semakin rentan.

Sebaliknya, ketika mereka semakin sedikit bergantung dengan dunia luar, maka mereka semakin kuat.

"Imunitas juga sama, semakin dia tergantung dengan makanan dari dunia luar, imunitasnya semakin rendah. Semakin jelek sumber daya alamnya, imunitasnya semakin rendah," ujarnya.

"Masyarakat adat sekarang lebih rentan ketimbang 20 tahun lalu," kata dia. (TribunNewsmaker.com/*)

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Perangi Corona dengan Kearifan Lokal, Masak Sayur Nangka hingga Disinfektan Sirih Jeruk Nipis

dan di Tribunnews.com Sederet Kearifan Lokal Warga dalam Perangi Corona, Jalani Ritual hingga Masak Sayur Lodeh 7 Rupa

Sumber: Kompas.com
Tags:
virus coronaCovid-19SoloJambiYogyakartasocial distancing
Berita Terkait
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved