Naikkan Iuran BPJS di Tengah Corona, Pemerintah Dinilai Tentang Putusan MA, Tak Peka, & Hilang Nalar
Naikkan iuran BPJS kesehatan di tengah pandemi corona, pemerintah dinilai tentang putusan MA, tak peka, hingga hilang nalar.
Editor: Irsan Yamananda
Dibatalkan MA
Pada Oktober 2019, Jokowi juga menaikkan tarif iuran BPJS kesehatan melalui Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Namun, Mahkamah Agung membatalkan kenaikan tersebut pada akhir Februari 2020.
Jumlah kenaikan iuran dalam perpres yang dibatalkan MA itu memang sedikit lebih besar dibanding perpres terbaru.
Perpres 75/2019 itu juga tak mengatur skema subsidi bagi peserta kelas III layaknya perpres saat ini.
Berikut rincian kenaikan iuran dalam perpres yang dibatalkan MA:
-Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 160.000, dari semula Rp 80.000
-Iuran peserta mandiri kelas II naik menjadi Rp 110.000, dari semula Rp 51.000
-Iuran peserta mandiri kelas III naik menjadi Rp 42.000, dari semula Rp 25.500
Dalam pertimbangannya, MA melihat ada ketidaksesuaian perpres tersebut dengan beberapa undang-undang, termasuk UUD 1945.
"Tidak sejalan dengan jiwa semangat UUD 1945, lalu juga ditunjang oleh aspek sosiologis, keadilan, mempertimbangkan orang yang tidak mampu dan sebagainya," kata Jubir MA Andi Samsan Nganro.
• Jokowi Naikkan Iuran BPJS, Komisi IX DPR: Tak Peka & Empati dengan Situasi Masyarakat Sekarang
• Iuran BPJS Naik Hampir 100 Persen: Ini Rincian Biayanya, Alasan Hingga Ingin Menjaga Kualitas
• Luna Maya Takjub Tahu Fasilitas di Kantor Baim Wong, Akui Jauh Lebih Bagus Dibanding Raffi Ahmad
Menentang putusan pengadilan
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai, langkah Presiden Joko Widodo kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan bertentangan dengan putusan MA.
Tindakan itu, kata Feri, dapat disebut sebagai pengabaian terhadap hukum atau disobedience of law.
"Tidak boleh lagi ada peraturan yang bertentangan dengan putusan MA. Sebab, itu sama saja dengan menentang putusan peradilan," kata Feri.