Marak Pernikahan Anak saat Pandemi, Usia 14 Tahun Alami KDRT, Ortu Menyesal & Ingin Putrinya Sekolah
Selama pandemi Covid-19, marak kasus perkawinan anak di Indonesia. Ratusan kasus perkawinan anak dilaporkan terjadi selama pandemi ini.
Editor: Listusista Anggeng Rasmi
Di NTB saja, sekitar 500 perkawinan anak dilaporkan telah terjadi dalam masa pandemi Covid-19.
Hal itu disampaikan Pelaksana Harian Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana Provinsi NTB Dede Suhartini, yang mengatakan data itu diterimanya dari organisasi nirlaba di wilayah itu.
NTB adalah satu dari 13 provinsi di Indonesia, yang menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), mengalami kenaikan angka pernikahan anak di atas batas nasional dalam periode 2018-2019.
Di Sulawesi Selatan, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Makassar, Rosmiati Sain, mengatakan selama pandemi ada sekitar sembilan kasus yang diterima LBH APIK dari tiga daerah, yakni Kota Makassar, Kabupaten Gowa, dan Pangkep.
• Segera Dipersunting Pria Bule, Chef Marinka Beberkan Kisah Awal Bertemu Hingga Rencana Pernikahan
"Ada tiga kasus yang terjadi, karena pemaksaan.
Dipaksa orangtuanya menikah lantaran itu orangtuanya dari sisi ekonomi tidak bisa melaut karena penerapan PSBB," ungkap Rosmiati Sain kepada wartawan BBC News Indonesia di Makassar.
Sementara, dalam kurun waktu Januari hingga Juni tahun 2020, Badan Peradilan Agama Indonesia telah menerima sekitar 34.000 permohonan dispensasi kawin yang diajukan mereka mereka yang belum berusia 19 tahun.
'Mengapa mau menggagalkan anak saya menikah?'

Di sejumlah daerah, pegiat perlindungan anak dan perempuan berkejaran dengan waktu untuk menggagalkan perkawinan anak.
Saraiyah, 49, pegiat Sekolah Perempuan di sebuah desa di Lombok Utara, menceritakan kesibukannya menanggapi laporan-laporan warga yang masuk terkait perkawinan anak.
Di desanya saja, ada 12 pasangan, baik yang keduanya usia anak maupun yang salah satunya adalah anak, yang berniat untuk menikah saat pandemi Covid-19, tapi berhasil digagalkannya.
Ia melakukannya dengan melakukan sosialisasi dan melobi keluarga agar pernikahan dapat ditunda, tapi upayanya tak selalu berhasil.
Saraiyah menyebut praktik setempat, yang biasa disebut 'Merarik' atau 'Kawin Lari', yakni seorang laki-laki yang membawa kabur seorang perempuan untuk dinikahkan, membuat pemisahan semakin sulit.
"Karena namanya perempuan sudah dilarikan sama laki-laki, baik sudah satu malam atau dua malam, itu dianggap mencoreng nama baik tempat, dusun, termasuk sosial dan adat di sana," ujarnya.
Hal itu membuat sejumlah orang tua juga tokoh-tokoh di kampung menolak memisahkan pasangan yang melakukan kawin lari itu, kata Saraiyah.