Untuk siswa di tingkat yang lebih atas, karena pembelajaran daring tidak memungkinkan, maka siswa hanya diberikan tugas yang nantinya diambil oleh orangtua di sekolah.
"Kalau tugas-tugas saja, itu namanya bukan pembelajaran. Kami bingung juga ini sebagai guru di daerah terpencil. Kalau Jakarta kan enak, mau Zoom mau apa bisa, lha kami? di sini HP Android saja belum punya," kata Ifan.
Kendala utama menurutnya adalah minimnya sinyal telekomunikasi di daerah tempatnya mengajar.
Sekolah tempat Ifan mengajar terletak di daerah pegunungan, sehingga akses untuk sinyal komunikasi terbilang sulit.
"Kadang-kadang orang tua menghubungi saya 'Maaf pak guru, saya harus naik gunung biar dapat sinyal', atau 'Maaf pak guru saya harus pergi ke kebun biar dapat sinyal'. Maka mereka yang punya WA itu mengirimkannya (tugas) kadang-kadang malam hari, saat orang lain sudah pulang, atau minta tolong tetangganya yang punya HP untuk mengirimkan, lama-lama kan enggak enak juga," kata Ifan.
Materi pelajaran disesuaikan
Sesuai dengan anjuran dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Ifan mengatakan bahwa di masa pandemi ini beban pelajaran kepada siswa dikurangi.
"Yang tadinya belajar delapan jam sekarang kami kurangi menjadi empat atau tiga jam pelajaran, dengan satu jam pelajaran itu 35 menit. Kami juga memotong materi-materi pelajaran, sehingga hanya yang penting-penting saja yang disampaikan," kata Ifan.
Cara penyampaian materi juga bervariasi, untuk guru yang sudah sepuh menyampaikan tugas lewat Lembar Kerja Siswa (LKS), untuk guru-guru yang masih agak muda biasanya menggunakan fitur voice note, screenshot materi pelajaran, atau video.
Untuk pembelajaran menggunakan aplikasi seperti Zoom, Google Meet, atau Google Classroom, untuk saat ini menurut Ifan tidak akan mungkin bisa dilaksanakan di daerah tempatnya mengajar.
"Indonesia itu tidak hanya Jakarta, ini pulau Jawa tapi kondisinya seperti ini. Apalagi di Papua, Nusa Tenggara? Teman-teman saya di Kupang, Maluku, bagaimana itu? Apakah bisa pembelajaran seperti ini, lewat Microsoft 365, atau Zoom?," kata Ifan.
Kerinduan anak-anak jadi sumber semangat
Mengingat pandemi virus corona nampaknya belum akan berakhir dalam waktu dekat, Ifan hanya bisa berharap paling tidak guru-guru diizinkan untuk mengadakan pembelajaran dengan siswa kelas I secara tatap muka.
"Sebagai pondasi dari kelas-kelas berikutnya kan kelas satu. Harus bisa baca, tulis, dan berhitung," kata Ifan.
Ia mengungkapkan bahwa siswa-siswanya sering menanyakan kapan mereka bisa kembali ke sekolah, mereka sudah rindu bisa belajar dan berjumpa lagi dengan kawan dan guru-gurunya.
Selain itu, ia juga bercerita bahwa siswa-siswanya tidak keberatan bila harus memakai masker selama jam pelajaran, asal bisa kembali ke sekolah.
"Itu sudah merupakan nilai positif bagi saya, bagi kami sebagai guru. Anak-anak itu rindu dengan sekolahnya itu hebat sekali. Kalau anak-anak bisa rindu itu maka pembelajaran kami berhasil, tapi kalau anak-anak tidak rindu maka pembelajaran kami tidak berhasil," kata Ifan. (Tribunnewsmaker/*)
Sebagian artikel ini telah tayang di Tribunjakarta.com dengan judul Keluarganya Tak Punya Smartphone, Siswa Ini Datang ke Sekolah Tiap Hari dan Belajar Sendiri di Kelas dan TribunJateng.com dengan judul Kisah Siswa SMP di Rembang Tidak Punya Smartphone Tetap Bersekolah Meski Sendirian di Kelas
dan di Tribunnews Tak Memiliki Smartphone, Siswa SMP di Rembang Ini Datang ke Sekolah Tiap Hari & Belajar Sendiri