Sosok

FIRASATNYA Terbukti, Sosok Ini Ternyata Sudah Curigai Hibah Rp 2 Triliun Akidi Tio: Halusinasi

Penulis: Monalisa
Editor: octaviamonalisa
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Heriyanti anak Akidi Tio, secara simbolis beri sumbang Rp 2 Triliun untuk penanganan covid-19 di Indonesia

Harta tersebut berupa emas batangan sisa peninggalan Kerajaan Pajajaran yang tersimpan di bawah Prasasti Batutulis, Bogor.

Heboh luar biasa.

Rasa kagum mencuat seketika.

Harapan dan optimisme pun kian berkecambah.

Sebentar lagi Indonesia bebas dari utang.

Menko Kesra ketika itu, Jusuf Kalla, meminta Said Agil datang menemuinya.

Kementerian Agama memang di bawah koordinasi Kementerian Kesra.

Tahu tidak, berapa utang luar negeri Indonesia, begitu pertanyaan Jusuf Kalla ke Menteri Agama.

Menteri Agama tak bisa menjawab.

Jusuf Kalla lalu memberi hitungan dengan enteng.

Jumlah utang luar negeri kita saat itu, awal tahun 2000, lebih kurang Rp 1.500 triliun.

Harga emas setiap gram kala itu adalah Rp 250.000 per gram.

Maka, untuk melunasi utang pemerintah, kita butuh sekitar 6.000 ton emas batangan.

Bila emas batangan tersebut kita angkut dengan truk yang berkapasitas 4 ton, dengan asumsi panjang truk adalah 5 meter, kita butuh jejeran truk sepanjang 5 km.

Itu artinya, truk-truk tersebut berbaris mulai dari Kebayoran Baru hingga Bundaran Hotel Indonesia.

Baca juga: Cerita Keluarga Akidi Tio Sumbang Rp 2 T, Sempat Bingung, Ada Kisah Haru Pertemanan Kapolda Sumsel

"Kira-kira ada tidak emas batangan sebanyak itu di Batutulis?" tanya Jusuf Kalla. Menteri Agama terdiam lesu.

Sekali lagi, akal sehat pejabat dipreteli.

Logika berpikir para pejabat dianiaya. Sayangnya, semua itu berdampak kepada masyarakat.

Setidaknya, masyarakat memercayai kebohongan yang sistematis seperti itu.

Tahun 2007, sidang kabinet dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Tiba-tiba saja, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro melapor dengan semangat berapi-api.

“Bapak Presiden, sebentar lagi Indonesia akan memiliki tiga kilang minyak baru.

Dua di antaranya di kampung Pak Wapres JK, yakni di Pulau Selayar dan Parepare," ujarnya.

Tak membutuhkan waktu terlampau lama, Wapres Jusuf Kalla langsung angkat bicara.

Sebaiknya para menteri, bila memberi laporan ke sidang kabinet, memeriksa betul akurasi data yang hendak disajikan.

Mohon menggunakan logika yang benar.

Ada dua persyaratan untuk membangun kilang minyak. Pertama, harus dekat dengan sumber daya minyak.

Kedua, dekat dengan pasar penjualan.

Kedua hal itu tidak ditemukan di Parepare dan Selayar.

Parepare itu kampung Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaludin, hanya tempat bertransaksi ikan terbang, kata Jusuf Kalla dengan kesal.

Dengan nada kecewa, Jusuf Kalla menguraikan lebih lanjut.

Tidak mungkin pengusaha dari Kuwait yang Menteri ESDM sebutkan itu sebagai investor akan membangun kilang minyak di tiga tempat di Indonesia.

"Dari mana uangnya? Utang cicilan mobil Toyota di kantor saya di Makassar saja belum dilunasi," tegas Jusuf Kalla.

Jelas sudah, bagaimana dengan entengnya para pejabat kita bisa dikibuli dan dibuai dengan rayuan gombal tanpa logika.

Jelas sudah, para pejabat kita bisa dengan enteng membiarkan dirinya dipasung dengan ketidakwarasan.

Gagal paham jika percaya Kembali ke soal keluarga Akidi Tio yang mendeklarasikan diri akan mendonasikan Rp 2 triliun kekayaan mereka.

Ini sebuah gagal paham bila hendak memercayai, sebelum benar-benar uang itu ada.

Akidi Tio bukanlah seseorang yang memiliki jejak jelas di bidang usaha.

Dari mana uang sebanyak itu?

Apakah lembaga perpajakan pernah mengetahui dan memungut pajak dari Akidi sedemikian banyak?

Rentetan pertanyaan logis yang harus dipakai sebelum memercayainya.

Yang mungkin terjadi, ahli waris almarhum Akidi Tio menemukan catatan-catatan tercecer almarhum, yang memiliki kesamaran tentang harta almarhum.

Lalu, para ahli warisnya membangun mimpi-mimpi indah disertai dengan halusinasi mengenai catatan-catatan tersebut.

Untuk mewujudkan halusinasi itu, ada baiknya meminjam tangan negara melalui para pejabat dengan 1.000 janji.

Namanya usaha.

Pertanyaan yang relevan di sini, ialah, apa keuntungan para pejabat yang mempromosikan atau mengamini orang-orang yang dengan enteng membuat janji hampa itu? Jawabannya singkat.

Para pejabat ingin menjadi pahlawan, seolah diri merekalah yang membantu meringankan beban rakyat.

Jawaban etisnya, yang bisa jadi juga, ada motif lain.

Wallahu alam bissawab.

Rentetan kejadian menghebohkan tentang dugaan harta, janji investasi, dan bualan sumbangan menghebohkan, semuanya bermuara pada kebohongan.

Maka, ada baiknya bangsa kita membuat aturan tentang para pejabat yang memperkenalkan dan mengamini segala ketidakbenaran seperti deretan fakta yang telah melecehkan akal sehat bangsa kita itu.

Orang atau pihak yang menggunakan para pejabat untuk memaklumkan ketidakbenaran juga harus juga diberi hukuman.

Harus ada ganjaran karena apa pun alasannya, memaklumkan ketidakbenaran kepada publik adalah public deception.

Ini baru adil dan mendidik bangsa kita menjadi bangsa yang rasional. (TribunnewsMaker.com/Kompas.com)