2 Sosok Diajak Ngobrol oleh Jokowi di Istana Bahas Whoosh, Kritisi hingga Tolak, Tinggalkan utang
Dua sosok yang pernah diajak Jokowi ngobrol soal proyek Whoosh ini beri kesaksian, kritisi hingga menolak, terbukti kini tinggalkan utang.
Editor: ninda iswara
Ringkasan Berita:
TRIBUNNEWSMAKER.COM - Sebuah pengakuan mengejutkan datang dari Wakil Ketua Umum Projo periode 2014–2019, Budianto Tarigan, terkait pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara.
Dalam pertemuan itu, keduanya membahas proyek ambisius Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh.
Menariknya, meski dikenal sebagai salah satu pimpinan relawan, Budianto justru menjadi sosok yang berani mengkritisi gagasan Jokowi mengenai proyek tersebut.
Tak hanya Budianto, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio juga pernah mendapat undangan langsung dari Presiden Jokowi untuk datang ke Istana membahas proyek yang sama.
Agus, yang dikenal vokal menolak pembangunan kereta cepat karena dinilai tidak efisien secara ekonomi, mengaku dikejutkan oleh pengakuan Presiden saat pertemuan itu.
Baca juga: Dugaan Korupsi Whoosh, Mahfud MD Sebut Biayanya Jauh Lebih Tinggi dari Perhitungan: Uangnya ke Mana?
Pengakuan Jokowi yang Bikin Kaget
Dalam podcast Abraham Samad Speak Up di kanal YouTube @abrahamsamadspeakup, yang tayang perdana pada Minggu (27/10/2025), Agus menceritakan secara terbuka isi percakapannya dengan Presiden Jokowi kala itu.
Ia menjelaskan bahwa undangan tersebut datang karena dirinya sering mengkritik proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung.
Menurut Agus, secara hitungan ekonomi, proyek ini tidak masuk akal jika dibandingkan dengan moda transportasi yang sudah ada, mulai dari mobil pribadi hingga kereta Argo Parahyangan.
Agus memanfaatkan kesempatan bertemu dengan Jokowi untuk menanyakan secara langsung asal-usul ide proyek Whoosh, terlebih setelah pemerintah memutuskan berpindah kerja sama dari Jepang ke China.
Ia menilai keputusan itu janggal karena bunga pinjaman meningkat tajam, dari 0,1 persen menjadi 2 persen.
Namun, jawaban Jokowi saat itu membuat Agus benar-benar terkejut hingga hampir jatuh dari kursi.
“Saya dipanggil, saya bilang Pak ini ide siapa? ‘Ide saya, Mas.’ Saya hampir jatuh dari kursi. Kaget kan, saya pikir idenya menteri BUMN atau siapalah,” kata Agus.
Masih dalam cerita Agus, Jokowi juga mengungkap alasan mengapa proyek tersebut akhirnya dijalankan oleh Menteri BUMN kala itu, Rini Soemarno.
Ternyata, Menteri Perhubungan Ignatius Jonan menolak proyek tersebut karena tidak setuju dengan konsepnya.
“Saya kan menyerahkan pada Pak Menteri Perhubungan, Pak Menteri Perhubungan tidak setuju. Ya sudah, saya perintah Menteri BUMN untuk meneruskan,” ujar Jokowi seperti ditirukan Agus.
Agus juga menyampaikan cerita Jokowi mengenai bagaimana ide kereta cepat itu pertama kali muncul.
Menurut penuturan Presiden, semuanya berawal saat ia sedang berada di Beijing.
“Waktu itu saya di Beijing, saya diajak naik kereta itu ke Shanghai atau ke mana. Cepat sekali dan bagus. Enak sekali. Xi Jinping nanya, ‘Bapak mau?’” kata Jokowi seperti dikisahkan Agus.
Agus menilai keputusan pemerintah berpindah dari Jepang ke China sebagai langkah yang kurang tepat.
Ia membandingkan cara kerja kedua negara dalam proyek infrastruktur.
“Jepang gini, kalau kita bicara loan itu detail banget dan ribet. Tapi setelah itu selesai, kayak MRT kan selesai. Kalau di China kebalikannya, gampang di depan, sekarang susahnya di belakang,” jelasnya.
Bocoran dari Eks Waketum Projo
Waketum Projo 2014-2019, Budianto Tarigan mengungkap pertemuannya dengan Jokowi di Istana pada periode pertama Jokowi menjabat presiden.
Budianto yang menjabat pimpinan kelompok relawan Jokowi saat itu itu membeberkan, Istana intensif membuka pintu bagi relawan untuk diskusi dengan RI 1.
Ia memaparkan, pada satu pertemuan, setelah kemenangan pada Pilpres 2014, Projo dan kelompok relawan lain menghadap langsung dengan Jokowi.
Pada forum formal, Budianto mewakili Projo, bicara tentang sejumlah isu, termasuk Whoosh.
Ia mempertanyakan urgensi proyek Whoosh sementara akses Jakarta-Bandung bisa ditempuh menggunakan mobil dan kereta Argo Parahyangan yang jarak tempuhnya tidak jauh beda, dua sampai tiga jam.
"Ketika bicara masalah Whoosh, saya langsung ngomong, 'Pak Jokowi, ini apakah soal kereta api cepat Jakarta Bandung ini sudah layak?"
"Dari sisi urgensi, kemanfaatan dan kemampuan ekonomi, ibaratnya itu, visibility studynya sudah oke belum, Pak?" Budianto menceritakan pertanyaannya kepada Jokowi, saat hadir menjadi narasumber di podcast Forum Keadilan, Youtube @forumkeadilanTV, tayang Sabtu (25/10/2025).
Budianto juga menjelaskan argumen kontranya terhadap Whoosh dengan mempertimbangkan geliat ekonomi yang terbantu dari pengguna kendaraan pribadi sepanjang jalan.
"Karena Pak, setahu saya ya sepertinya saya yakini dengan subjektivitas saya belum saatnya nih Pak ke Bandung itu waktu tempuh bisa dua jam pakai mobil pribadi. Belum lagi sarana yang lain banyak Pak, travel, mobil bus, Argo Parayangan juga sebenarnya masih layak."
"Mobil pribadi juga banyak, Pak, yang pakai mobil pribadi ke sana malah lebih nyaman saya bilang."
"Bahkan, Pak, kalau kita pakai mobil ke sana sepanjang jalan itu rakyat di sekitar itu hidup, Pak. Minimal yang rest area atau tempat pemberhentian itu ada geliat ekonomi di situ yang berbentuk warung kah, warung rokok kah, warung sembako apa warung makanan seperti itu. Waktu itu saya saya kan polos saja kan," kata Budianto, masih menceritakan argumennya ke Jokowi saat itu.
Pada forum formal di Istana itu, Jokowi tak menjawab, namun Budianto masih gatal berharap tanggapan.
Baca juga: Mahfud MD Sebut Proyek Whoosh dari Awal Tak Beres, Singgung Kontrak, Minta Diselidiki: Bisa Koruptif
Akhirnya pada sesi makan bersama dengan menu lobster, Budianto menyamperi meja Jokowi untuk bertanya langsung.
"Masih mengganjal di saya. Saya tanya ke Mas Eko (saat itu menjabat Deputi IV Kantor Staf Kepresidenan) waktu itu, ke Mas Eko Sulistyo. 'Mas, izin Mas, saya mau sebentar bicara dengan Pak Jokowi. Ya udah, silakan. Itu Bapak lagi makan di meja sana.' Saya datangin Pak Jokowi," kata Budianto.
Budianto pun sekali lagi mempertanyakan proyek Whoosh, yang juga bernama Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) setelah diresmikan itu, kepada Jokwoi, secara empat mata di meja makan Istana.
Ia mewanti-wanti soal hitungan untung rugi terkait kepentingan masyarakatnya.
"Kalau saya boleh nambahin, izinkan Pak, apakah program kereta api cepat Jakarta Bandung ini sekali lagi Pak sudah dihitung matang-matang baik dari sisi kemampuan ekonomi dan kegunaannya untuk masyarakat yang terlintas di jalur itu, Pak. Belum lagi soal-soal pembebasan lahan, belum lagi soal-soal urgensi itu saya bilang. Tapi kalau Bapak sudah merasa itu dari sisi visibility study itu memenuhi syarat, silakan Pak," kata Budianto.
Jokowi pun menjawab singkat. Budianto mengulangi jawaban Jokowi itu di podcast Forum Keadilan.
"Uwis Mas, itu sudah program dari saya dan kita sudah sepakat dengan teman-teman," kata Jokowi kepada Budianto.
Budianto tidak mengetahui benar siapa yang dimaksud teman-teman. Nammun menurutnya, sosok teman yang dimaksud bukanlah menteri di kabinet, sebab, Menteri Perhubungan saat itu, Ignatius Jonan, tidak setuju.
"Saya menduga Pak Jokowi mungkin waktu itu sudah komit dengan pihak investor luar," kata Budianto.
Jokowi juag menyampaikan alasan lain tetap kekeuh menjalankan proyek yang kini menjadi sorotan itu.
"Jadi, Mas ada satu lagi kata-kata Pak Joko yang saya ingat. Saya ingat betul Pak Jokowi ngomong. Tenang aja Mas. Ini tidak memberatkan APBN. Konsepnya skemanya B2B bisnis ke bisnis tak ada pakai uang APBN," kata Jokowi seperti ditirukan Budianto.
Budianto pun harus puas dengan jawaban itu, dan tak pernah mendapat kesempatan lagi untuk mempertanyakannya.
Latar Belakang
Proyek Whoosh sendiri awalnya digagas sejak era Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2011, dengan Jepang sebagai mitra utama melalui JICA (Japan International Cooperation Agency).
Jepang telah melakukan studi kelayakan hingga menggelontorkan biaya sebesar 3,5 juta dollar AS, dan menawarkan pinjaman bunga rendah 0,1 persen dengan tenor 40 tahun, memakai skema Government-to-Government (G2G) dan biaya estimasi 5 hingga 6,2 miliar dollar AS.
Namun, pada 2015, Jokowi mendadak memilih China sebagai mitra untuk membangun Whoosh.
Alasannya, China menawarkan skema Business-to-Business (B2B) tanpa jaminan APBN, berbagi teknologi lebih luas, dan pinjaman sebesar 5 miliar dollar AS tanpa syarat ketat seperti Jepang, meski bunganya lebih tinggi, yakni 2 hingga 3,4 persen
Seperti diketahui, proyek ambisius Whoosh benar-benar digarap pada pemerintahan Jokowi.
Melalui cap proyek strategis nasional (PSN) berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 3 Tahun 2016, proyek yang didanai sebagian besar menggunakan utang dari China Developement Bank (CDB) itu dikebut.
Jokowi juga yang meletakkan batu pertama pada Januari 2016, dan meresmikannya pada 2 Oktober 2023.
Sampai pertengahan 2025, jumlah penumpang Whoosh sebanyak 16 ribu sampai 18 ribu orang per hari pada hari kerja, dan 18 ribu sampai 22 ribu per hari pada akhir pekan.
Angka tersebut belum menyentuh target 31 ribu penumpang per hari yang dicanangkan sejak awal.
Proyek KCIC mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar 1,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp19,54 triliun, dari biaya awal yang direncanakan 6,07 miliar dollar AS.
Sehingga, total investasi proyek Whoosh mencapai 7,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp116 triliun.
Untuk membiayai investasi 7,2 miliar dollar AS pada proyek ini, 75 persen di antaranya didapat dari pinjaman China Development Bank.
Sementara sisanya berasal dari setoran modal pemegang saham, yaitu PT KCIC yang merupakan gabungan dari PSBI (60 persen) dan Beijing Yawan HSR Co Ltd (40 persen).
PSBI sendiri merupakan PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia, konsorsium sejumlah BUMN pada proyek KCIC.
Whoosh, yang notabene merupakan program yang dibangga-banggakan oleh Jokowi jelas memberikan tekanan besar terhadap kinerja keuangan PT KAI (Persero).
Utang untuk pembiayaan proyek Whoosh membuat PSBI mencatat kerugian senilai Rp1,625 triliun pada semester I-2025.
Karena menjadi lead konsosrium PSBI, maka PT KAI (Persero) menanggung porsi kerugian paling besar, yakni Rp951,48 miliar per Juni 2025, jika dibanding tiga BUMN anggota konsorsium PSBI lainnya.
Sehingga, beban yang ditanggung PT KAI (Persero) begitu berat, baik dalam bentuk biaya operasional kereta cepat maupun pengembalian utang.
(TribunNewsmaker/TribunJakarta)
| Ketua DPRD Klaten Ajak Pemuda Jadi Ujung Tombak Pembangunan Daerah di Momen Sumpah Pemuda 2025 |
|
|---|
| Peringati HUT ke-75, Wabup Klaten Benny Ajak DPRD Perkuat Kolaborasi Bangun Daerah |
|
|---|
| HUT ke-75 DPRD Klaten Diwarnai Aksi Sosial dan Kepedulian Lingkungan |
|
|---|
| 75 Tahun DPRD Klaten: Refleksi Perjalanan Panjang, Komitmen Mengawal Aspirasi Rakyat |
|
|---|
| Gelontorkan Dana Rp 6 M, Pemkab Sukoharjo Beri Santunan Kematian Kepada 2.000 Warga Kurang Mampu |
|
|---|