Berita Viral
5 Fakta Pengunjung Makan Seafood di Labuan Bajo Habis Rp16 Juta, Sebut Kualitas Ekspor: Minta Diskon
Inilah 5 fakta pengunjung makan seafood di Labuan Bajo NTT, habis Rp16 juta, pedagang sebut kualitas ekspor: 'Minta diskon'
Editor: Listusista Anggeng Rasmi
Y juga menjelaskan bahwa nota manual digunakan karena seluruh pedagang di Kampung Ujung memang belum mendapat mesin pencatat pajak dari Dinas Pendapatan Daerah.
“Dinas terkait mengatakan, mereka sementara berusaha untuk pengadaan mesin. Bukan kami yang tidak mau,” kata Y.
5. Respons dan Pelajaran untuk Wisatawan
Y menambahkan, pihaknya selalu berupaya melayani dengan baik meski terkadang pesanan datang berulang dan jumlah pengunjung bertambah banyak.
“Apalagi yang datang 26 orang dan berapa kali pesan tambahan,” imbuhnya.
Kasus ini menjadi pembelajaran penting bagi pelaku wisata dan pengunjung: transparansi harga, komunikasi yang jelas, dan bukti transaksi resmi adalah hal krusial agar tidak muncul kesalahpahaman di kemudian hari.
Sebagai penulis, saya menilai insiden ini mencerminkan tantangan klasik di sektor wisata kuliner: kurangnya komunikasi dan sistem harga yang belum transparan.
Kejadian semacam ini mudah viral karena menyentuh dua hal sensitif, kepercayaan dan uang.
Namun, jika ditelusuri lebih dalam, masalahnya tidak hanya pada nominal tagihan, tetapi juga pada absennya sistem digitalisasi transaksi dan edukasi harga untuk wisatawan.
Pedagang lokal perlu didukung agar memiliki alat pencatat pajak resmi, sementara wisatawan juga mesti proaktif bertanya sebelum memesan.
Ketika kedua pihak memahami hak dan kewajibannya, kejadian seperti ini bisa dihindari. Labuan Bajo sebagai destinasi super prioritas selayaknya menjadi contoh wisata jujur dan profesional.
Karena itu, transparansi harga bukan sekadar etika, melainkan investasi untuk kepercayaan jangka panjang.
(Tribunnewsmaker.com/ Surya.co.id)