Kasus Mulfia yang Tega Bunuh Bayinya, Nikah di Usia 17 Tahun, Gangguan Mental Setelah Melahirkan
Alami gangguan mental setelah melahirkan, Mulfia tega habisi nyawa sang anak. Begini kronologinya.
Editor: ninda iswara
Psikolog Universitas Muhammadiyah Buton (UMB) Ria Safaria memperkirakan 50%-80% perempuan mengalami depresi pasca melahirkan. Kelelahan dan perubahan hormon menjadi penyebab utamanya.
Ia menjelaskan, seorang ibu baru dikatakan mengalami sindrom baby blues jika menangis terus menerus selama 14 hari tanpa kontrol jelas dan tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai ibu secara alami.
Namun, jika situasi itu terus berlangsung selama lebih dari 14 hari, lanjutnya, maka ia diperkirakan mengalami depresi pasca melahirkan.
"Gejalanya memang hampir sama, hanya frekuensi dan durasinya yang membedakan. Kalau depresi pasca melahirkan itu lebih berat dan terasa sekali. Kalau baby blues syndromme wajar dan ringan," kata Ria.
Ria menyebut lingkungan di sekitar ibu sangat menentukan.
Dukungan suami dan orang-orang terdekat sangat penting, yang artinya, tak adanya dukungan juga dapat memperburuk kondisi mental ibu.
Jarak melahirkan yang terlalu dekat juga sangat menguras tenaga dan pikiran si ibu.
Ria menyebutkan rendahnya kesadaran akan akibat negatif perkawinan di usia dini mendorong berbagai masalah yang akhirnya ditanggung oleh perempuan.
• Sudah 35 Saksi Diperiksa, Siapa Pelaku Pembunuhan Intan Anjanii Bee & Apa Motifnya? Ini Kata Polisi
"Orang banyak menyalahartikan bahwa menikah ya sudah yang penting kamu sudah menikah, berhubungan badan halal punya anak. Ya sudah urus [anak].
"Jadi seorang ibu tidak mudah, dia harus siap dengan kondisinya. Hormon juga memengaruhi. Jadi baby blues itu juga bisa memengaruhi ketika ibunya berusia dini."
Peran pemerintah untuk pemulihan
LSM APPAK (Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Peduli Perempuan dan Anak) di Pulau Buton menyebut kurangnya perhatian pemerintah terhadap isu kekerasan terhadap anak dan perempuan tercermin dalam anggaran daerah.
Menurut Sri Nurmala dari APPAK, pemerintah setempat tidak menyiapkan anggaran untuk program pemulihan korban kekerasan baik mental dan fisik, meski sudah diamanatkan dalam Undang-undang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).
"Mulfia merupakan korban dari ketidakpedulian kita, ketidakpedulian pemerintah," katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Baubau Wa Ode Soraya menyatakan dinasnya sudah memiliki mekanisme untuk menangani kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga.
"Untuk pemulihan korban, DP3A Kota Baubau mempunyai satgas sebanyak enam orang. Mekanismenya [perlu] ada laporan baik korban atau keluarganya. Satgas akan menjangkau," katanya.