Ini Reaksi Berbagai Negara Dunia Atas Kerusuhan yang Terjadi di AS Akibat Kematian George Floyd
Reaksi berbagai negara atas kerusuhan yang terjadi karena kematian George Floyd, negara mana saja?
Editor: Talitha Desena
TRIBUNNEWSMAKER.COM - Kerusuhan atas kematian George Floyd terjadi di berbagai tempat bahkan di luar Amerika.
Bagaimana reaksi sejumlah negara atas kerusuhan tersebut?
Simak berikut ini!
Reaksi berbagai negara atas kerusuhan yang terjadi karena kematian George Floyd, negara mana saja?
Seperti yang diketahui, tindakan rasisme yang dialami oleh George Floyd menimbulkan sejumlah kecaman hingga menimbulkan kerusuhan di beberapa tempat.
George Floyd tewas setelah mengalami kekerasan yang dilakukan polisi Minneapolis, Derek Chauvin pada 25 Mei 2020.
• Nasib Derek Chauvin & Tiga Polisi Pembunuh George Floyd: Terancam Hukuman 40 Tahun Penjara
• 5 FAKTA Tewasnya George Floyd, Rusuh Seantero Amerika, Begini Nasib Derek Chauvin dan Saksi Beratnya

Video George Floyd yang lehernya ditindih Derek Chauvin hingga tewas menjadi viral.
Kematian George membuat masyarakat marah atas tindakan rasisme yang tak kunjung berhenti.
Terutama masyarakat kulit hitam yang hingga kini masih terus mengalami rasisme.
Demonstrasi alias protes terjadi beberapa negara bagian Amerika, bahkan di negara-negara lain di luar Amerika.
Di beberapa daerah di Amerika, demonstrasi berakhir dengan kerusuhan dan penjarahan.
Bagi negara-negara yang menjadi sasaran kritik AS karena dianggap melanggar hak- hak demokrasi, kematian George Floyd memberikan peluang untuk membalikkan keadaan di Washington. Berikut adalah bagaimana media di Cina, Iran, Rusia dan Turki meliput protes di AS.
CHINA
Surat kabar pemerintah China, Global Times, membandingkan respons AS terhadap protes atas kematian George Floyd dengan dukungan Washington sebelumnya kepada para pemrotes Hong Kong, mengingatkan para pembaca bahwa para politisi AS menggambarkan demo di Hong Kong sebagai "pemandangan indah" demokrasi.
Pemimpin redaksi harian tersebut, Hu Xijin menulis, "Kekacauan di Hong Kong yang berlangsung lebih dari setahun dan tidak ada tentara dikerahkan.