Jika Gugatan UU Penyiaran Dikabulkan MK, Facebook Hingga YouTube Live Harus Memiliki Izin Siar
Jika permohonan itu dikabulkan, pemerintah menilai masyarakat tidak akan bisa lagi mengakses media sosial secara bebas.
Editor: Irsan Yamananda
Menurut Ramli, keliru jika menyamakan layanan penyiaran dengan layanan OTT, meskipun konten yang dihasilkan sama-sama audio dan atau audio visual.
"Para pemohon tidak memahami secara menyeluruh definisi penyiaran dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran dan tidak memahami pengaturan penyelenggaraan penyiaran dalam UU penyiaran dan peraturan pelaksanaannya," kata dia.
• Siap-siap Subsidi Vaksin Covid-19 Gratis untuk yang Terdaftar BPJS Kesehatan, Tapi Tak Semua Dapat
Ramli menambahkan, seluruh media komunikasi massa di Indonesia memiliki aturannya sendiri.
Jika layanan penyiaran diatur melalui UU Penyiaran, maka layanan OTT yang memanfaatkan jasa akses internet melalui jaringan telekomunikasi tunduk pada UU Telekomunikasi.
Sedangkan pengawasan konten OTT yang ditransmisikan melalui sistem elektronik tunduk pada UU ITE.
"Dengan demikian menjadi jelas bahwa karakteristik OTT khususnya untuk layanan audio visual OTT berbeda dengan penyiaran yang tunduk pada UU Penyiaran," kata Ramli.
Sebelumnya, PT Visi Citra Mitra Mulia (Inews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) menggugat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Mereka menyoal Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran yang menyebut,“Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.”
• Ditahan & Ditetapkan Sebagai Tersangka, Jerinx SID Tulis Surat di Balik Jeruji Besi, Begini Isinya
Oleh pemohon, pasal itu dinilai menyebabkan perlakuan yang berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio, dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti Youtube dan Netflix.
Hal ini karena Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran hanya mengatur penyelenggara penyiaran konvensional dan tak mengatur pengelenggara penyiaran terbarukan.
“Karena tidak adanya kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT (over the top) a quo masuk ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Penyiaran atau tidak, telah menyebabkan sampai saat ini penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT tidak terikat dengan Undang-Undang Penyiaran,” kata Kuasa Hukum pemohon, Imam Nasef, dalam sidang pendahuluan yang digelar Senin (22/6/2020) di Gedung MK, Jakarta Pusat.
Dalam gugatannya, pemohon merasa dirugikan karena adanya diskriminasi dalam sejumlah hal.
Misalnya, untuk dapat melakukan aktivitas penyiaran, pemohon harus lebih dulu berbadan hukum Indonesia hingga memperoleh izin siaran.
Sementara penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet tidak perlu memenuhi persyaratan tersebut. (TribunNewsmaker/ *)
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Instagram TV hingga YouTube Live Harus Miliki Izin Siar jika Gugatan terhadap UU Penyiaran Dikabulkan".
BACA JUGA : di Tribunnews.com dengan judul Jika Gugatan UU Penyiaran Dikabulkan MK, Instagram TV Hingga Facebook Live Harus Memiliki Izin Siar.