Deretan Kelalaian Ini Buat Proses UU Cipta Kerja Dinilai Ugal-ugalan, Banyak Kekeliruan Pengetikan
Sejumlah kelalaian dalam draft UU Cipta Kerja ini membuat pakar hukum menilai terkesan ugal-ugalan.
Editor: ninda iswara
Ayat (5) berbicara soal ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan keputusan dan tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum diatur dalam peraturan presiden.
Beleid itu merujuk ke Ayat (3) tentang tindakan yang dapat dikabulkan secara hukum.
Padahal, Ayat (3) tidak berbicara soal permohonan yang dapat dikabulkan hukum. Hal tersebut tertuang di Ayat (4), sehingga semestinya Ayat (5) merujuk ke Ayat (4).
Sebelum akhirnya resmi diundangkan, prosedur formal UU Cipta Kerja pun dipertanyakan.
Setelah disahkan di rapat paripurna 5 Oktober, jumlah halaman UU Cipta Kerja terus berubah-ubah.
Ia bermula dari dokumen setebal 905 halaman yang disebarluaskan pimpinan Badan Legislasi (Baleg) DPR kepada wartawan saat hari pengesahan.
Kemudian, berubah menjadi setebal 1.035 halaman, 812 halaman, dan terakhir 1.187 halaman saat diundangkan.
Polemik bertambah dengan ditemukannya penghapusan pasal, yaitu ketentuan pengubahan Pasal 46 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Dalam UU Cipta Kerja setebal 812 halaman yang diserahkan DPR ke Istana, ketentuan itu tertuang pada Pasal 40 angka 7 yang mengubah ketentuan Pasal 46 UU Minyak dan Gas Bumi.
Baca juga: Ada Salah Ketik dalam UU Cipta Kerja, Pengamat: Tampak Bagaimana Buruknya Proses Ugal-ugalan Ini
Baca juga: Sudah Diteken Jokowi, UU Cipta Kerja Resmi Jadi UU Nomor 11 Tahun 2020, Ini Link untuk Unduh Drafnya
Dinilai ugal-ugalan
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menilai, kelalaian penulisan dalam UU Cipta Kerja makin memperjelas proses pembahasan dan pembentukannya yang ugal-ugalan.
Dia mengatakan, makna pembuatan undang-undang dikerdilkan hanya untuk mewujudkan tujuan-tujuan tertentu.
"Seakan-akan mengerdilkan makna pembuatan UU, padahal UU itu seperti kontrak sosial warga melalui wakil-wakilnya. Itu pun sudah disimpangi dengan tidak partisipatif dan tidak transparannya proses penyusunan dan pembahasan. Ini akibatnya kalau tujuan buruk menghalalkan segala cara," tuturnya.

Dia pun menyebut kelalaian penulisan yang cukup fatal ini bisa memperkuat alasan bagi publik melakukan gugatan uji formal UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Artinya, permasalahan dalam UU Cipta Kerja bukan hanya soal substansi atau materiil, tapi juga pada prosedurnya yang sejak awal dinilai cacat formil.