Breaking News:

Berita Viral

DULU Kuliah di UNS & UGM, Mueen Al Shurafa Jadi Dokter di Gaza, Kini Gugur Dibom Israel: Innalillahi

INNALILLAHI! Dokter Mueen gugur di Gaza dibom Israel, dulu mengenyam pendidikan di UNS dan UGM.

Penulis: Dika Pradana
Editor: Dika Pradana
UNS / HO via TribunMedan
Sosok dr. Mueen, alumni UNS dan UGM gugur dibom Israel, ungkapan duka dari akun UNS beredar. 

"Hati saya hancur saat saya mengumpulkan anggota badan (jenazah) anak-anak yang terkoyak dan memasukkannya ke dalam satu kain kafan. Apa yang telah mereka lakukan?" imbuh dia.

Al-Maghari yang terkadang bekerja dengan asistennya, membungkus jenazah yang tiba di rumah sakit.

Baca juga: PECAH TANGIS Jurnalis di Gaza:Kemarin Saya Tangisi Anak Orang Lain Tiada, Hari Ini 4 Anakku Tewas!

Seorang warga Palestina memegang jenazah seorang anak yang terbungkus kain kafan sementara orang lain bereaksi di sampingnya, di luar rumah sakit setelah pemboman Israel di pinggiran timur Kota Gaza, Shujaiya pada 4 November 2023, di tengah pertempuran yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok Palestina Hamas.
Seorang warga Palestina memegang jenazah seorang anak yang terbungkus kain kafan sementara orang lain bereaksi di sampingnya, di luar rumah sakit setelah pemboman Israel di pinggiran timur Kota Gaza, Shujaiya pada 4 November 2023, di tengah pertempuran yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok Palestina Hamas. (DAWOOD NEMER / AFP)

Ia memulai kegiatannya sekitar pukul enam pagi hingga delapan malam, tanpa henti.

"Saya memulai hari saya dengan membungkus orang mati dan terbunuh, mulai jam enam pagi sampai jam delapan malam tanpa henti," kata dia kepada AlJazeera setelah mencuri waktu sejenak untuk salat Asar.

Beberapa jenazah yang tiba sudah dalam kondisi membusuk dengan tulang terlihat, setelah berhari-hari tergeletak di bawah reruntuhan bangunan yang dibom.

Selain itu, ada pula jenazah yang tiba dalam keadaan tercabik-cabik, beberapa terbakar, hingga tak bisa dikenali lagi, kisah al-Maghari.

Luka-luka yang ada di para jenazah sangat asing bagi al-Maghari.

Hal itu membuat dirinya bertanya-tanya apakah rudal dan bahan peledak yang digunakan Israel berbeda dari serangan sebelum-sebelumnya.

Tetap Totalitas Meski 'Diserbu'

Meski menghadapi kengerian setiap harinya, al-Maghari tetap menjalankan pekerjaannya seperti biasa.

Ia merasa yakin, anggota keluarga harus memiliki hak untuk mengucapkan selamat tinggal kepada orang yang mereka cintai.

"Misi saya memberi saya tantangan besar," ujarnya.

"(Para) orang tua di Gaza menjadi gila karena keseidhan mereka. Berteriak dan menangis untuk anak mereka."

"Jadi saya mencoba untuk berbelas kasih semampu saya dan berusaha membuat jenazah terbungkus rapi, sehingga mereka (keluarga korban) bisa mengucapkan selamat tinggal," tutur dia.

Al-Maghari berusaha semaksimal mungkin membungkus jenazah korban serangan Israel, layaknya orang meninggal pada umumnya.

Ia akan menyeka darah dan debu, kemudian menuliskan nama korban di kain kafannya.

Abu Saher al-Maghari saat mengurus mayat korban perang di Gaza dalam sehari.
Abu Saher al-Maghari saat mengurus mayat korban perang di Gaza dalam sehari. (AFP / Aljazeera)

"Momen perpisahan terakhir ini selalu memilukan dan kejam." tuturnya.

"Kadang-kadang, saya menerima jenazah yang tak memiliki ciri-ciri karena hancur terkena ledakan." tambahnya.

"Di sini, saya membungkuskan kain kafan hingga tertutup agar anggota keluarga tidak mengingat orang yang mereka cintai dalam keadaan yang begitu gamblang," urai al-Maghari.

Seringkali al-Maghari membungkus jenazah di dalam ambulans yang tiba di rumah sakit karena terlalu sulit untuk membawa potongan-potongan tubuh tersebut ke ruang kerjanya untuk dicuci dan dikafani.

Al-Maghari mengatakan, jumlah jenazah yang tiba di RS Syuhada Al-Aqsa bertambah dua kali lipat setelah adanya pengungsian massal warga Kota Gaza ke kota-kota di Jalur Gaza selatan, yang meningkat setelah 13 Oktober.

“Setiap hari, perempuan, laki-laki, dan anak-anak, semuanya warga sipil, terbunuh dalam serangan Israel terhadap rumah atau tempat umum mereka atau saat bepergian ke selatan,” katanya.

"Tidak Ada Waktu untuk Menangis" lanjutnya.

Al-Maghari percaya mendiskusikan dampak pekerjaan ini terhadap kesehatan mentalnya adalah sebuah “kemewahan”, mengingat kondisi bencana yang dialami sektor kesehatan.

“Menghadapi banyaknya jenazah yang robek dan terbakar yang sebagian besar adalah anak-anak, memerlukan ketangguhan psikologis tingkat tinggi yang tidak dimiliki setiap manusia,” ujarnya.

"Saya menghadapi ujian nyata setiap hari. Tidak ada waktu untuk menangis atau putus asa pada saat yang sama, tetapi kita hanyalah manusia," tegas al-Maghari.

"Pekerjaan Al-Maghari dalam kondisi berbahaya ini tidak memberinya kesempatan untuk memikirkan keluarganya, yang tinggal di kamp pengungsi Nuseirat di pusat Kota Gaza." ujarnya.

“Seperti semua orang tua, saya mengkhawatirkan keluarga saya, tetapi saya hampir tidak bisa berkomunikasi dengan mereka atau merasa tenang,” kata ayah lima anak ini.

“Ketika saya kembali ke rumah, saya tidak dapat berbicara dengan keluarga saya sama sekali,” tambahnya.

“Yang saya minta dari mereka hanyalah tinggalkan saya sendiri, meski mereka merindukan saya. Itu di luar kendali saya.” imbuhnya.

Ketika pemboman dan serangan darat Israel terus berlanjut, dia tahu ada kemungkinan serangan Israel dapat terjadi di wilayah yang lebih dekat dengan wilayahnya.

“Saya sering membayangkan anak-anak saya bisa menjadi korban yang saya kafani kapan saja,” kata al-Maghari.

“Semua orang menjadi sasaran, tanpa kecuali.” pungkasnya.

(TribunnewsMaker.com/Dika Pradana)

Tags:
berita viral hari iniMueen Al Shurafadr MueenGazadokterIsraelUNSUGM
Rekomendasi untuk Anda
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved