Sebagai seorang perawat, dia mengaku tak boleh menolak tugas kemanusiaan apapun resikonya, termasuk kemungkinan terpapar virus mematikan dari pasien yang dirawatnya.
Menurut Minarsih, tugas yang diemban ini tak sebanding dengan penderitaan dan ketakutan pasien yang terindikasi Corona.
“Setiap kali pasien dimasukkan ruang isolasi, wajah mereka sangat tegang dan depresi. Bahkan ada yang nyaris bunuh diri karena stres,” ungkapnya, Jumat (3/4/2020).
Sehingga peran Minarsih dan tenaga medis di ruang isolasi sangat dibutuhkan.
Setiap hari mereka membangun komunikasi dan membangkitkan semangat pasien untuk sembuh.
Namun ironisnya, tugas berat itu tak diimbangi dengan pemenuhan alat perlindungan diri (APD) yang mereka pakai.
Padahal setiap saat Minarsih dan teman-temannya berpotensi terpapar virus Corona saat berinteraksi di ruang isolasi.
“Kami terpaksa mengurangi intensitas keluar masuk ruang isolasi karena keterbatasan APD. Di zona merah, APD hanya bisa dipakai sekali dan langsung dibuang,” jelas Minarsih.
Sebagai gantinya, Minarsih membentuk grup WhatsApp yang terdiri dari petugas ruangan dan pasien.
• Di Balik Tegarnya Dokter & Perawat Hadapi Pasien Corona, Lihat Wajah-wajah Lebam Berdarah Ini, Sedih
• Kisah Sedih Perawat di Italia Bunuh Diri Setelah Positif Corona karena Takut Menulari Orang Lain
Sehingga komunikasi bisa dilakukan secara daring tanpa harus masuk ke dalam ruang isolasi.
Selain menghilangkan kebosanan dan menyampaikan motivasi, grup WA juga dipakai untuk melaporkan kebutuhan pasien seperti cairan infus yang habis.
Melalui WA pula para pasien bisa saling berinteraksi dan mengenal satu sama lain, dan membangun semangat sembuh bersama-sama.
Sementara Tri Sudaryati (54) rekan Minarsih di ruang isolasi memberikan kesaksian sama.
Perawat senior ini bahkan mengalami tekanan mental di luar tempat kerjanya sejak merawat pasien Corona.
“Mereka mengucilkan saya karena dianggap bisa menularkan virus. Padahal tidak sesederhana itu,” katanya.