Profil Soegondo Djojopoespito, Sosok di Balik Lahirnya Ikrar Sumpah Pemuda, Kelahiran Tuban Jatim
Soegondo Djojopoespito, mahasiswa hukum berusia 23 tahun, berdiri tegak menyatukan para pemuda dari berbagai daerah.
Editor: Eri Ariyanto
Saat itu 28 Oktober 1928 hari terakhir pelaksanaan Kongres Pemuda Indonesia II. Muhammad Yamin yang ada disebelah Soegondo menyerakan sebuah kertas.
Setelah dibaca serius, Soegondo mengangguk dan membubuhkan paraf pada kertas tersebut, kemudian diserahkannya kepada Amir Sjarifuddin, wakil Jong Bataks Bond.
Peserta Kongres Pemuda II yang berlangsung di gedung Indonesisch Huis, Jalan Kramat Raya 106, Jakarta, sepakat dengan draf Yamin yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda.
Isi teks Sumpah Pemuda, yaitu:
Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Tiga kalimat itu menggema dalam keheningan malam, disusul tepuk tangan panjang. W.R. Supratman kemudian memainkan lagu “Indonesia Raya” dengan biola, menandai momen yang akan dikenang selamanya sebagai lahirnya Sumpah Pemuda.
Dalam kesaksian beberapa peserta, wajah Soegondo tampak haru saat mendengar lagu Indonesia Raya berkumandang untuk pertama kalinya.
Ia sadar bahwa malam itu bukan sekadar pertemuan organisasi, tetapi awal dari sebuah bangsa yang baru lahir dalam kesadaran kolektif para pemudanya.
Setelah kongres berakhir, Soegondo tidak mencari sorotan. Ia kembali ke kampus, melanjutkan kuliah sambil tetap aktif di PPPI.
Namun bagi banyak orang, namanya telah tercatat dalam sejarah sebagai pemimpin sidang yang melahirkan ikrar paling penting dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Kiprah setelah Sumpah Pemuda
Usai kongres, Soegondo tidak berhenti di situ. Ia melanjutkan perjuangannya lewat jalur pendidikan dan birokrasi.
Pada tahun 1931, ia lulus dari Sekolah Tinggi Hukum (Rechts Hoogeschool) di Jakarta.
Dengan bekal ilmu hukum dan semangat kebangsaan, ia memilih jalur pengabdian sebagai pegawai negeri.
Pasca-kemerdekaan, Soegondo dipercaya menempati berbagai jabatan penting di pemerintahan.
Ia pernah menjadi Kepala Jawatan Pendidikan Masyarakat (Pendidikan Luar Sekolah) di Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan.
Dalam perannya ini, Soegondo menekankan pentingnya pendidikan karakter dan moral bagi generasi muda Indonesia.
Ia juga aktif dalam berbagai lembaga kebudayaan, termasuk Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional, yang banyak memberi masukan dalam penyusunan kurikulum pasca-kemerdekaan.
Bagi Soegondo, pendidikan bukan sekadar proses belajar di sekolah, tetapi jalan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya.
Ia percaya bahwa semangat Sumpah Pemuda harus hidup di ruang kelas dan hati setiap pelajar.
Nilai-nilai perjuangan Soegondo
Soegondo dikenal sebagai pribadi sederhana, berwibawa, dan memiliki disiplin tinggi. Meski menjabat di berbagai posisi penting, ia selalu menolak hidup mewah.
Nilai yang ia wariskan tidak hanya berupa dokumen sejarah, melainkan sikap hidup, cinta tanah air, kebersamaan, dan tanggung jawab moral terhadap bangsa.
Dalam berbagai tulisan dan pidatonya, Soegondo sering menekankan pentingnya persatuan dalam keberagaman.
Ia percaya bahwa Indonesia tidak akan kuat tanpa rasa saling menghargai antarsuku, agama, dan budaya.
Pemikirannya sejalan dengan semangat Sumpah Pemuda, bahwa bahasa, tanah air, dan bangsa Indonesia harus menjadi satu kesatuan yang utuh.
Akhir hayatnya
Soegondo Djojopoespito wafat pada 23 April 1978 di usia 73 tahun. Ia dimakamkan dengan upacara kehormatan di Jakarta sebagai penghormatan atas jasanya bagi bangsa.
Meski namanya tak setenar tokoh-tokoh besar lain, peran Soegondo sangat penting dalam meletakkan dasar persatuan nasional.
Tanpa kepemimpinannya dalam Kongres Pemuda II, mungkin Sumpah Pemuda tidak akan lahir sekuat dan sejelas itu.
Kini, rumah di Jl. Kramat Raya No. 106 tempat ia memimpin sidang telah dijadikan Museum Sumpah Pemuda.
Di sana tersimpan kenangan dan semangat perjuangan Soegondo, bersama para pemuda lain yang menyalakan api kebangsaan.
| Sosok Wawan, Tetangga yang Berubah Jadi Pembunuh Gara-Gara Uang Rokok dan Celetukan Sepele di Cimahi |
|
|---|
| Sosok Yosgernold Tarigan, Eks Wartawan Kini Jadi Plt Kajari Mandailing Natal, Ini Rekam Jejaknya |
|
|---|
| Penyesalan Terbesar Penjual Bakso Babi di Bantul DIY Usai Tempat Usahanya Viral, Kini Hidup Sulit |
|
|---|
| Sosok Tanti Aulia Calon Dokter yang Tewas Terpanggang di Deli Serdang Sumut, Prestasi Mentereng |
|
|---|
| Dendam Tragis Keluarga di Malang, Kakak Suntikkan Sabu ke Adik Kandung hingga Diancam Dijual |
|
|---|